Selasa, 18 Januari 2011

Pembangunan Sosial di Indonesia


Pembangunan sosial dapat didefinisikan sebagai strategi kolektif dan terencana guna meningkatkan kualitas hidup manusia melalui seperangkat kebijakan sosial yang mencakup sektor pendidikan, kesehatan, perumahan, ketenagakerjaan, jaminan sosial dan penanggulangan kemiskinan. Istilah pembangunan sosial (social development) sering dipertukarkan dengan pembangunan manusia (human development) dan pembangunan kesejahteraan sosial (social welfare development). Secara konseptual, ketiganya sesungguhnya memiliki arena dan konsentrasi yang relatif berbeda, meskipun bersinggungan. Bila pembangunan sosial lebih berorientasi pada peningkatan kualitas hidup manusia dalam arti luas, maka pembangunan manusia memfokuskan perhatiannya pada peningkatan modal manusia (human capital) yang diukur melalui dua indikator utama; pendidikan (misalnya angka melek huruf) dan kesehatan (misalnya angka harapan hidup). Sementara itu, pembangunan kesejahteraan sosial lebih berorientasi pada peningkatan modal sosial (social capital) yang dapat dilihat dari indikator keberfungsian sosial (social functioning) yang mencakup kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, melaksanakan peran sosial serta menghadapi goncangan dan tekanan kehidupan. Meskipun sasaran pelayanan pembangunan kesejahteraan sosial mencakup individu dan masyarakat dari berbagai kelas sosial ekonomi, namun sasaran utama pelayanan pembangunan sosial pada umumnya adalah mereka yang tergolong kelompok-kelompok kurang beruntung (disadvantaged groups) yang di Indonesia dikenal dengan nama Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS).
Krisis multi dimensi yang dihadapi bangsa Indonesia sejak tahun 1998 tidak hanya menyangkut aspek ekonomi dan politik, tetapi juga merambat kepada aspek pembangunan sosial, khususnya pembangunan Kesejahteraan Sosial. Ternyata, kondisi sosial ekonomi dan politik bangsa Indonesia sangat rapuh dan rentan terhadap terpaan arus globalisasi. Hal itu menuntut semua komponen bangsa untuk mengkaji ulang paradigma pembangunan dan tidak terkecuali paradigma pembangunan Kesejahteraan Sosial. Romanyshyn (1971) menyatakan istilah “Kesejahteraan Sosial” seringkali diekspresikan secara kabur dan konsepnya selalu berubah-ubah, yang memiliki konotasi negatif dan positif. Dalam arti sempit, kesejahteraan sosial diartikan sebagai bantuan finansial dan pelayanan lain bagi golongan masyarakat yang kurang beruntung.
Banyak arti yang diberikan pada istilah kesejahteraan sosial (Suharto, 2005). Kesejahteraan sosial seringkali menyentuh, berkaitan, atau bahkan, selintas, bertumpang-tindih (overlapping) dengan bidang lain yang umumnya dikategorikan sebagai bidang sosial, misalnya kesehatan, pendidikan, perumahan, dll. Spicker (1995:5) membantu mempertegas substansi kesejahteraan sosial dengan menyatakan bahwa welfare (kesejahteraan) dapat diartikan sebagai “well-being” atau “kondisi sejahtera”. Namun, welfare juga berarti ‘The provision of social services provided by the state’ dan sebagai ‘Certain types of benefits, especially means-tested social security, aimed at poor people’.Kesejahteraan menunjuk pada pemberian pelayanan sosial yang dilakukan oleh Negara atau jenis-jenistunjangan tertentu, khususnya jaminan sosial yang ditujukan bagi orang miskin. Menurut Howard Jones(1990), tujuan utama kesejahteraan sosial, yang pertama dan utama, adalah penanggulangan kemiskinan dalam berbagai manifestasinya. “The achievement of social welfare means, first and foremost, the alleviation of poverty in its many manifestations” (Jones, 1990:281). Makna “kemiskinan dalam berbagai manifestasinya” menekankan bahwa masalah kemiskinan disini tidak hanya menunjuk pada “kemiskinan fisik”, seperti rendahnya pendapatan (income poverty) atau rumah tidak layak huni, melainkan pula mencakup berbagai bentuk masalah sosial lain yang terkait dengannya, seperti anak jalanan, pekerja anak, perdagangan manusia, pelacuran, pengemis, pekerja migran, termasuk didalamnya menyangkut masalah kebodohan, keterbelakangan, serta kapasitas dan efektifitas lembaga-lembaga pelayanan sosial pemerintah dan swasta (LSM, Orsos, institusi lokal) yang terlibat dalam penanggulangan kemiskinan.
Pembangunan ekonomi nasional selama ini ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas yang ditandai oleh tingginya ketimpangan dan kemiskinan. Pembangunan ekonomi sangat diperlukan bagi pembangunan sosial. Namun demikian, hubungan antara keduanya tidak selalu bersifat otomatis. Pembangunan ekonomi baru bermakna jika dapat dialokasikan dengan baik bagi kepentingan pembangunan sosial. Berbagai studi telah cukup meyakinkan bahwa secara teoritis maupun empiris, keberhasilan suatu bangsa dalam mencapai tingkat standar hidup yang baik sangat ditentukan oleh strategi pembangunan di negara tersebut yang memadukan pembangunan ekonomi dan sosial. Oleh karena itu, penulis mengemukakan bahwa orientasi pembangunan ekonomi perlu diikuti oleh pembangunan sosial, yang diartikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan secara menyeluruh. Paling tidak hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan sosial tersebut adalah (1) social services, (2) social welfare services, dan (3) community development. Itulah sebabnya, visi Indonesia yang merupakan tantangan bagi Pembangunan Indonesia kedepan adalah menjadi bangsa unggul, yang dapat mengatasi keadaan dan memberi kontribusi pada permasalahan umat manusia. Untuk membangun budaya unggul (culture of excellence), sasaran utama yang dituju dimasa yang akan datang adalah (1) persatuan dan harmoni sosial yang semakin kokoh, (2) stabilitas nasional yang semakin mantap, (3) menjaga hukum dan ketertiban (law and order), (4) menjaga dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, (5) meningkatkan kesejahteraan rakyat, (6) meningkatkan pembangunan Tata Kelola Pemerintah yang baik (good governance) dan Pemberantasan Korupsi, (7) perlindungan lingkungan hidup, mewujudkan pembangunan yang maju, berkeadilan dan berketahanan namun juga
berwawasan lingkungan, serta (8) pembangunan daerah di seluruh wilayah tanah air harus berjalan makin intensif. Target-target pembangunan tersebut hanya mungkin tercapai apabila pembangunan ekonomi dan pembanguan sosial dapat dilaksanakan secara sinergis dan berkesinambungan. Dalam pembangunan sosial, prinsip dasarnya adalah bahwa perwujudan keadilan sosial perlu diberi prioritas utama dalam usaha pembangunan masyarakat. Prinsip ini mengandung makna, bahwa kemanusiaan sebuah masyarakat dapat diukur dari perhatiannya kepada anggota masyarakatnya yang paling miskin, paling lemah, dan paling menderita. Dalam kaitan ini, implikasinya adalah perlunya jaminan terhadap pemenuhan hak-hak dasar masyarakat yang meliputi (1) pemenuhan hak atas pekerjaan; (2) pemenuhan hak atas pangan; (3) pemenuhan hak atas kesehatan; (4) hak atas kepemilikan; dan (5) pemenuhan hak atas pendidikan.

PERUBAHAN PARADIGMA PEMBANGUNAN EKONOMI KE ARAH PEMBANGUNAN SOSIAL DI INDONESIA
 Istilah pembangunan identik dengan perubahan ekonomi yang dibawa oleh proses industralisasi, karena pembangunan pada umumnya dimaknai dapat meningkatkan pendapatan masyarakat, meningkatkan level pendidikan, dan memperbaiki kondisi pemukiman serta kesehatan. Pembangunan sering juga diasosiasikan dengan perubahan atau kemajuan pada sektor ekonomi.
Fenomena kemiskinan yang cukup besar pada beberapa negara maju merupakan salah satu masalah dalam pembangunan. Pada beberapa negara, pembangunan ekonomi belum diiringi hadirnya kemajuan dalam aspek sosial. Menurut Midgley, fenomena ini sisebut dengan istilah “Pembangunan Terdistorsi”. Pembangunan terdistorsi terjadi pada masyarakat, dimana pembangunan ekonomi tidak sejalan dengan pembangunan sosial. Permasalahannya bukan pada pembangunan ekonomi, melainkan pada kegagalan dalam mengharmonisasikan tujuan-tujuan pembangunan sosial dan ekonomi, juga kegagalan dalam memastikan bahwa keuntungan dari kemajuan ekonomi tidak menyentuh masyarakat keseluruhan. (Midgley, 2005)
Prayitno dalam Tantangan Pembangunan di Indonesia, mengemukakan bahwa pembangunan ekonomi belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas, yang ditandai oleh tingginya ketimpangan dan kemiskinan. Keberhasilan pembangunan sering diukur oleh istilah Produk Nasional Bruto (PNB atau GNB) dan Produk Domestik Bruto (PDB atau GDP), maka kekayaan keseluruhan yang dimiliki suatu negara tidak berarti bahwa kekayaan itu merata dimiliki oleh semua penduduknya (Prayitno, 2009). Artinya, dalam pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak tertutup kemungkinan adanya sebagian kecil orang dalam negara yang memiliki kekayaan berlimpah, sedangkan sebagian yang lain hidup dalam kemiskinan. Sehingga, sering dimunculkan ironi di negara-negara yang PNB perkapitanya tinggi, namun kemiskinan di mana-mana. Tingginya GNP belum menjamin terwujudnya kesejahteraan rakyat, karena hasilnya tidak selalu diterima secara merata, akibat dari proses pembangunan yang ditetapkan.
Kondisi pembangunan terdistorsi sebagaimana yang dikemukakan Midgley dan penggunaan indikator PNB dan GDP sebagai sebuah kemajuan negara sebagaimana yang dikemukakan Prayitno, terjadi pada dua negara maju yaitu Inggris dan Amerika Serikat. Pada negara-negara ini pembangunan ekonomi gagal memberantas kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, masalahnya lebih kepada adanya lapisan masyarakat yang tidak mendapatkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi. Selain juga terjadi pada beberapa negara Amerika Latin, pertumbuhan ekonomi begitu pesat, namun kondisi sosial tetap saja meningkat secara marjinal. Pada masyarakat ini, pembangunan ekonomi belum diiringi dengan pembangunan sosial yang sesuai dengan pembangunan ekonomi tersebut. Yang terjadi adalah adanya distribusi pendapatan dan kesejahteraan yang tidak  merata, kekayaan yang berlimpah ruah dengan kemiskinan yang sangat mencolok, investasi pendidikan dan layanan sosial yang sangat rendah, serta angka pengangguran yang sangat tinggi.
Midgley menguraikan beberapa indikator pembangunan yang terdistorsi (Midgley, 2005), diantarnya:
  • Pembangunan yang didalamya tidak ada keterlibatan masyarakat.
  • Terdapat minoritas etnis dan ras yang mengalami diskriminasi dan kesempatan-kesempatan dalam meningkatkan standar hidup mereka.
  • Penindasan terhadap perempuan, meskipun perempuan adalah penyumbang besar dalam pembangunan ekonomi.
  • Eksploitasi anak dalam menyokong ekonomi keluarga. Ketidakterlibatan mereka pada kesempatan pendidikan, layanan kesehatan yang layak, dan perasaan aman juga kehidupan yang baik, berakibat pada kemiskinan pada generasi mendatang.
  • Terjadinya degradasi lingkungan, usaha-usaha pembanguna ditandai dengan eksploitasi sumber daya alam. Kekayan yang diambil dari sumber-sumber, seharusnya dapat dipertanggungjawabkan tetapi seringkali tidak membawa keuntungan bagi penduduk lokal, juga masyarakat luas.
  • Berlebihannya anggaran militer. Pengeluran yang tidak hanya menggadaikan generasi masa depan, juga mengalahkan sumber-sumber langka dari proyek yang dapat menunjang ekonomi dan pembangunan sosial.
Pembangunan sosial muncul sebagai respon mendesak terhadap masalah pembangunan yang terdistorsi sebagaimana diuraikan diatas. Perlunya upaya untuk mengharmonisasikan kebijakan-kebijakan sosial dengan cara yang didesain untuk mengangkat pembangunan ekonomi. Pembangunan sosial berupaya menawarkan perspektif makro tentang kesejahteraan sosial yang juga berhubungan dengan berbagai macam strategi yang berusaha untuk meningkatkan taraf kehidupan untuk semua penduduk, melalui pendekatan yang komperhensif dan dinamis untuk mengangkat kesejahteraan sosial.
Pembangunan sosial merupakan pendekatan untuk mengangkat kesejahteraan masyarakat yang tidak hanya sesuai untuk peningkatan kualitas hidup semua warga negara, juga merespon masalah dari problem pembangunan yang terdistorsi. Kondisi kekurangan yang terkait ini hanya dapat dicarikan jalan keluarnya melalui sebuah pendekatan yang menyatukan tujuan-tujuan ekonomi dan sosial.
Pembangunan sosial berupaya mengangkat kesejahteraan rakyat dengan menggabungkannya dalam sebuah proses dinamis pengembangan ekonomi (Midgley 2005), dimana pembangunan sosial menawarkan pada upaya:
  • Fokus pada perspektif makro yang komprehensif, bertitik pusat pada komunitas dan masyarakat
  • Menekankan pada intervensi yang terencana
  • Mengangkat pendekatan yang berorientasi pada perubahan bersifat dinamis dan inklusif dan universal
  • Mengharmonisasikan intervensi sosial dengan usaha-usaha pembangunan ekonomi.
  • Menggabungkan tujuan-tujuan ekonomi dan sosial.
Kegagalan pembangunan ekonomi semata menjadi bentuk evaluasi agar ada kolaborasi, dimana dalam tujuan-tujuan pembangunan ekonomi terdapat didalamnya pembangunan pada aspek sosial, sehingga tidak ada lagi ketimpangan dan kemiskinan dalam suatu negara. Selain itu indikator makro seperti GDP dan GNP tidak bisa dijadikan ukuran tunggal dalam menilai keberhasilan suatu negara dalam aspek peningkatan kesejahteraan yang mewakili semua lapis dalam masyarakat. Pembangunan sosial merupakan jawaban atas kegagalan pembangunan ekonomi yang ukurannya adalah pertumbuhan ekonomi.

ARAH KEBIJAKAN SOSIAL YANG MENGGAMBARKAN PEMIKIRAN PELAKSANAAN PEMBANGUNAN SOSIAL DI INDONESIA.
 Kebijakan sosial adalah kebijakan publik yang penting di negara-negara modern dan demokratis. Sejarah menunjukkan bahwa semakin maju dan demokratis suatu negara, semakin tinggi perhatian negara tersebut terhadap pentingnya kebijakan soaial. Sebaliknya di negara-negara miskin dan otoriter, kebijakan sosial kurang mendapatkan perhatian.
Menurut Suharto, kebijakan sosial merupakan kebijakan publik dalam bidang kesejahteraan sosial. Makna “kebijakan” pada kata “kebijakan sosial” adalah “kebijakan publik”, sedangkan makna “sosial” menunjuk pada bidang atau sektor yang menjadi garapannya, dalam hal ini adalah sektor atau bidang “kesejahteraan sosial” (Suharto, 2008).
Di Indonesia, pentingnya peran negara dalam membangun dan mengimplementasikan kebijakan publik di bidang kesejahteraan (public welfare) dilandasi oleh perspektif historis, ideologis, logis dan global universal (Suharto, 2008):
1.   Secara historis, pendiri bangsa memilih model negara kesejahteraan dalam melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
2.   Secara ideologis, sila-sila dalam pancasila menegaskan kerinduan Indonesia akan adanya keadilan sosial bagi segenap warganya.
3.   Secara logis, Indonesia adalah negara berpenduduk lebih dari dua ratus juta jiwa, sebagian diantaranya masih terhimpit kemiskinan, kebodohan dan ketelantaran.
4.   Secara universal, tidak ada sistem pemerintahan di dunia ini yang tidak memberikan peran kepada negara untuk menjalankan pembangunan kesejahteraan sosial. Di negara yang menganut sosialisme dan kapitalisme sekalipun, peran negara diwujudkan dengan pembentukan lembaga setingkat departemen atau kementrian yang secara khusus mengelola skema perlindungan sosial (social protection). Perlindungan sosial mencakup baik jaminan sosial (social security) yang bersifat formal seperti bantuan sosial dan asuransi sosial, maupun jaminan kemasyarakatan yang bersifat informal, seperti jaring pengaman sosial, dana sosial, serta gerakan-gerakan pemberdayaan berbasis inisiatif lokal.
Berbicara mengenai kebijakan sosial tidak bisa dilepaskan dari negara kesejahteraan (welfare state) karena kebijakan sosial adalah paham dari negara kesejahteraan. Sebagai sebuah kebijakan publik di bidang kesejahteraan sosial, kebijakan sosial menunjuk pada seperangkat kewajiban negara (state obligation) untuk melindungi dan memberikan pelayanan dasar terhadap warganya. Pemenuhan kebutuhan hidup minimum, pendidikan, perawatan kesehatan dasar, dan perlindungan sosial terhadap kelompok-kelompok rentan merupakan contoh kewajiban negara yang harus dipenuhi  yang dinyatakan dalam konsep negara kesejahteraan.
Dalam konstitusi Indonesia, menunjukkan bahwa negara Indonesia merupakan negara yang memberikan titik tekan pada aspek kesejahteraan sosial, karena berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, tujuan negara Indonesia terdiri atas tiga pokok, yaitu (1) melindungi seluruh bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dan (3) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selain itu dalam  Bab IX Undang-Undang dasar (UUD) 1945 diberi judul Sistem Perekonomian dan Kesejahteraan Sosial. Hal ini menunjukkan bahwa sistem perekonomian Indonesia idealnya berorientasi dan berpihak pada rakyat dan mengarah pada kesejahteraan sosial.
Terdapat beberapa pasal dalam UUD 1945 yang menegaskan jaminan negara terhadap sumber-sumber dan aspek kesejahteraan sosial, diantaranya: (1) Pasal 27, tentang hak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, (2) pasal 31, tentang hak mendapatkan pendidikan, (3) pasal 33, tentang perekonomian dan kesejahteraan sosial, (4) pasal 34, tentang jaminan terhadap fakir miskin dan anak-anak terlantar.  Selain itu tanggungjawab negara dalam mendorong kesejahteraan juga diamanatkan dalam UU No 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, yang  menegaskan bahwa penanggulangan kemiskinan dilakukan lewat strategi kebijakan, program dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok dan atau masyarakat yang tidak mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian dan tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan. Selain juga terdapat produk hukum lain baik berupa Keputusan Presiden (Kepres), Peraturan-Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen), yang fokus membahas mengenai permasalah kesejahteraan sosial.
Sesuai dengan kondisi diatas, konstitusi dan produk hukum lain merupakan bentuk kebiajakan sosial di Indonesia, maka dengan dasar tersebut Indonesia menganut sistem negara kesejahteraan, yaitu sebuah model kebijakan sosial yang mengedepankan pentingnya peran negara untuk secara aktif, sensitif dan responsif ambil bagian dalam pemenuhan pelayanan sosial dasar kepada warga negara, terutama mereka yang tergolong lemah dan rentan dan memerlukan perlindungan khusus.
Sejatinya Indonesia memang terkategorikan kedalam negara kesejahteraan, namun dalam prakteknya Suharto memasukan Indonesia kedalam model welfare society dan bahkan mendekati model welfare rudimentalism, yaitu peran negara dan masyarakat yang sama-sama lemah, dengan indikator Gross Domestic Product (GDP) dan pengeluaran sosial rendah, dalam hal ini anggaran negara untuk pembangunan sosial masih dibawah 5 % dari pengeluaran total pemerintah. (Suharto, 2005).
Kondisi kesejahtaraan masyarakat Indonesia berada pada titik yang memprihatinkan terutama dalam aspek kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pada Bulan Maret 2009, jumlah orang miskin di Indonesia sebanyak 32,53 juta jiwa atau 14,15 persen dari total jumlah penduduk Indonesia. Dibandingkan periode yang sama di tahun 2008, angka kemiskinan menunjukan penurunan. Sedangkan pada bulan Maret 2008, BPS menyebutkan  jumlah masyarakat miskin di Indonesia mencapai 34,96 juta atau 15 persen dari total penduduk Indonesia. Angka kemiskinan di tahun 2008 lebih rendah atau turun 2,21 juta jiwa dibandingkan tahun 2007 yang mencapai 37,17 juta warga miskin di seluruh Indonesia. Meski menunjukan angka penurunan, bukan berarti upaya mengentaskan kemiskinan yang dilakukan pemerintah sudah berhasil secara maksimal karena angka kemiskinan sering bergerak secara fluktuatif dari tahun ke tahun.
Tingginya angka kemiskinan dan pengangguran di Indonesia memberi pesan bahwa praktik pembangunan nasional selama ini selain belum bisa meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat, juga menunjukkan masih adanya masalah ketidakadilan sosial yang cukup parah. Pembangunan nasional yang masih bertumpu pada pembangunan ekonomi dan utang luar negeri kurang memperhatikan strategi yang berdampak langsung pada penurunan kemiskinan, pengangguran dan ketidakmerataan.
Berdasarkan kondisi tersebut diatas, diperlukan adanya kebijakan sosial menunjuk pada apa yang dilakukan pemerintah sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui pemberian beragam tunjangan pendapatan, pelayanan kemasyarakatan dan program-program tunjangan sosial lainnya. Sebagai sebuah kebijakan publik, kebijakan sosial memiliki fungsi preventif (pencegahan) kuratif (penyembuhan) dan pengembangan (developmental). Kebijakan sosial merupakan ketetapan yang didesain secara kolektif untuk mencegah terjadinya masalah sosial (fungsi preventif), mengatasi masalah sosial (fungsi kuratif) dan mempromosikan kesejahteraan (fungsi pengembangan) sebagai wujud kewajiban negara (state obligation) dalam memenuhi hak-hak warganya.
Terkait dengan kondisi diatas, titik penting pembangunan sosial adalah mengupayakan agar berbagai masalah sosial seperti kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, ketertinggalan, keterpencilan, serta korban bencana dan akibat tindakan kekerasan dapat ditangani secara terencan, terpadu dan berkesninambungan. Merespon kondisi-kondisi tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudoyono, dalam pidato kenegaraan dihadapan Sidang Paripurna DPR, 16 Agustus 2009 (lengkapnya ada pada hal. 26), menyampaikan bahwa esensi dari program lima tahun mendatang adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, penguatan demokrasi dan penegakan keadilan. Keadilan yang lebih baik ditandai dengan penghormatan terhadap praktek kehidupan yang non diskriminatif, persamaan kesempatan, dan tetap memelihara kesetiawakawanan sosial dan perlindungan bagi mereka yang lemah.
Dalam pidato kenegaraan tersebut, presiden menyampaikan tiga pilar utama dalam menyusun strategi pembangunan, yaitu:
1.   Menjaga dan memperkuat kemandirian, karena kemandirian adalah dasar dari kekuatan ketahanan dan kemampuan untuk terus maju sebagai bangsa. Indonesia akan menjadi bangsa yang tidak didikte baik secara plitik, ekonomi, maupun militer oleh negara manapun.
2.   Memiliki daya saing yang makin tinggi. Dalam era globalisasi yang sarat dengan persaingan dan tantangan, bangsa yang menang dan unggul adalah bangasa yang produktif dan inovatif, menguasi ilmu pengetahuan dan teknologi, cerdas mengambil peluang, serta berani menghadapi perubahan.
3.   Mampu membangun dan memiliki peardaban yang tinggi dan mulia. Perlu mempertahankan nilai, jati diri dan dan karakter bangsa yang luhur dan terhormat, meningkatkan semangat dan etos kerja sebagai bangsa yang kuat dan gigih, dan membangun peradaban yang menghadirkan persaudaraan dan kerukunan bangsa, serta memelihara kelestarian alam.
Pada bagian lain pidatonya, terkait dengan pembangunan ekonomi, Presiden menyampaikan bahwa pembangunan ekonomi kedepan akan memadukan pendekatan sumber daya (resources), pengetahuan (knowledge), dan budaya (culture). Ekonomi Indonesia harus memiliki kesinambungan. Pertumbuhan ekonomi yang kita pilih dan anut adalah pertumbuhan disertai pemerataan (growth with equality), agar benar-benar membawa rasa adil.
Dalam pembangunan lima tahun mendatang, pemerintah menempatkan peningkatan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama, dengan berlandaskan keunggulan dan daya saing, pengelolaan sumber daya manusia. Ekonomi Indonesia harus tumbuh semakin tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang diciptakan adalah pertumbuhan yang inklusif, pertumbuhan yang berkeadilan, dan pertumbuhan yang disertai pemerataan.
Sebagaimana isi pidato yang disampaikan Presiden dalam Rapat Paripurna DPR pada tanggal 16 Agustus 2009 tentang rencana pembangunan 2009-2014 yang dikutip diatas, pada dasarnya sudah jelas arah kebiajakan sosial Indonesia sebagaimana indikator Midgley, yaitu bertitik pusat pada komunitas dan masyarakat, menekankan intervensi yang terencana, mengangkat pendekatan yang berorientasi perubahan bersifat dinamis yang inklusif dan universal, yang intinya mengharmonisasikan intervensi sosial dengan usaha-usaha pembangunan ekonomi, Tujuh prioritas kebijakan ekonomi yang disampaikan presiden sudah tergabung didalamnya pembangunan sosial, dengan berlandasan pada konstitusi.

Pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan
Prayitno dalam buku Tantangan Pembangunan di Indonesia mengemukakan bahwa, pembangunan ekonomi nasional selama ini belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas, yang ditandai oleh tingginya ketimpangan dan kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, muncul sebagai fenomena yang bukan tanpa masalah, karena keberhasilan pembangunan sering diukur dalam istilah teknis ekonomi dengan Produk Nasional Bruto (PNB atau GNP) dan Produk Domestik Bruto (PDB atau GDP), maka kekayaan keseluruhan yang dimiliki suatu negara tidak berarti bahwa kekayaan itu merata dimiliki oleh semua penduduknya (Prayitno, 2009). Dalam pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak tertutup kemungkinan adanya sebagian kecil orang di dalam negara yang memiliki kekayaan berlimpah, sedangkan sebagian lain hidup dalam kemiskinan. Sehingga, sering memunculkan ironi di negara-negara yang PNB perkapitanya tinggi, namun banyak kemiskinan dimana mana. Tingginya GNP ternyata belum menjamin terwujudnya suatu kesejahteraan rakyat, karena hasilnya tidak selalu diterima secara merata, akibat dari prioritas pembangunan yang ditetapkan.
Pembangunan ekonomi jelas sangat mempengaruhi tingkat kemakmuran suatu negara. Pembangunan ekonomi yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar tidak akan secara otomatis membawa kesejahteraan kepada seluruh lapisan masyarakat. Sebagaiman pengalaman negara maju dan berkembang membuktikan bahwa meskipun mekanisme pasar mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang optimal, namun selalu gagal menciptakan pemerataan pendapatan dan memberantas masalah sosial. Penduduk miskin merupakan kelompok yang sering tidak tersentuh oleh strategi pembangunan yang bertumpu pada mekanisme pasar.  Kelompok rentan ini, karena hambatan fisiknya (orang cacat), kulturalnya (suku terasing) maupun strukturalnya (penganggur), tidak mampu merespon secepat perubahan sosial di sekitarnya, sehingga terjatuh dalam proses pembangunan yang tidak adil.
Luasnya wilayah dan beragamnya kondisi sosial budaya masyarakat menyebabkan masalah kemiskinan di Indonesia menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan yang berbeda.  Kemiskinan yang timbul dalam masyarakat, bukan semata-mata akibat dari faktor-faktor yang ada dalam dirinya sendiri, melainkan sebagai akibat dari eksploitasi. Kemiskinan dalam kelompok masyarakat ada hubungannya dengan kemakmuran yang terjadi pada kelompok elite dalam masyarakat. Kemakmuran pada golongan kecil masyarakat yang merupakan elite bukan hanya merupakan gejala ekonomi, melainkan juga gejala politik, bahkan juga merupakan gejala kultural.
Kemiskinan muncul karena kurangnya kesetiakawanan sosial, dan mereka tidak mendapatkan sumber kekayaan yang ada di masyarakat. Terdapat hubungan kausal antara kemiskinan dengan inequality dalam penguasaan atas berbagai sumberdaya, pendistribusian dan konsumsi dalam masyarakat. Persoalan mendasar yang dihadapi bukan sekedar bagaimana mengejar pertumbuhan ekonomi tetapi juga bagaimana melakukan redistribusi pendapatan dan menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan, dengan mengakomodasi masalah politik, sosial, dan budaya (Prayitno, 2009).
Perubahan sosial merupakan proses yang berlangsung dalam struktur, fungsi suatu sistem sosial, dan peranan institusi yang berlaku dalam suatu jangka waktu tertentu. Perubahan sosial yang berlangsung mengacu pada kemajuan masyarakat, dengan suatu pola tertentu. Atau dengan perkataan lain perubahan itu merupakan keadaan yang diinginkan, bersifat positif dan bermanfaat, ditimbulkan dan direncanakan.
Proses perubahan ini harus dimulai dengan motivasi yang kuat untuk menerima dan bersedia melakukan perubahan-perubahan, serta tujuan perubahan harus ditetapkan terlebih dahulu sebelumnya. Perubahan berencana harus merupakan proses rasional yang mempunyai dasar ilmiah dan berlangsung dalam suasana yang demokratis. Oleh karena itu perubahan terencana harus didasarkan atas keputusan dan tindakan yang tepat serta menelaah secara seksama berbagai konsekuensinya.
Dengan demikian, model-model pembangunan tidak dapat dilepaskan dari sistem ekonomi. Pilihan terhadap model pembangunan berkaitan erat dengan sistem ekonomi yang dipilih. Pembagian sistem ekonomi yang dilakukan oleh David C. Korten sebagimana dikutip Prayitno (Prayitno, 2009), membedakan dua sistem ekonomi, yaitu: Cowboy Economic System dan Space-Ship Economic System (David C. Korten, 1990). Orientasi pembangunan ekonomi perlu diikuti oleh pembangunan sosial, yang diartikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan secara menyeluruh. Paling tidak hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan sosial tersebut adalah (a) social services, (b) social welfare services, dan (c) community development.
Mengutip asumsi yang dikemukakan Todaro (M. P. Todaro, 1989), bahwa terdapat tiga sasaran yang seyogyanya dicapai dalam pembangunan sosial, yaitu :
Pertama, meningkatkan ketersediaan dan memperluas distribusi barang-barang kebutuhan pokok. Kedua, meningkatkan taraf hidup, yaitu selain meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan juga perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya dan kemanusiaan, yang keseluruhannya akan memperbaiki bukan hanya kesejahteraan material tetapi juga menghasilkan rasa percaya diri sebagai individu ataupun sebagai suatu bangsa.
Ketiga, memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang tersedia bagi setiap orang dan setiap bangsa dengan membebaskan mereka dari perbudakan dan ketergantungan bukan hanya dalam hubungan dengan orang dan negara lain tetapi juga terhadap kebodohan dan kesengsaraan manusia.
Esensi dari Pembangunan sosial merupakan pembangunan kesejahteraan masyarakat. Sebagaimana dikemukakan Adi (Adi, 2002), mengutip Spicker (1995: h.3), menggambarkan sekurang-kurangnya dalam membangun kesejahteraan masyarakat mencakup lima bidang utama, yaitu bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, jaminan sosial dan pekerjaan sosial. Sedangkan Zastrow (1996: h.4) menambahkan rekreasional sebagai salah satu unsur dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga jika digabungkan menjadi enam aspek yang terkait dalam pembangunan sosial, dengan kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi ideal yang akan dicoba untuk dicapai. Hal ini menandakan bahwa aspek dalam pembangunan sosial meliputi aspek yang cukup luas.
Pembangunan harus dipahami sebagai suatu proses berdimensi jamak yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat, dan kelembagaan nasional. Setiap negara menerapkan teori pembangunan yang berbeda dan dengan paradigma yang berbeda pula, baik itu didasarkan atas teori modernisasi ataupun teori depedensi.
Jika ditelaah lebih lanjut terlihat bahwa selama ini Indonesia menganut strategi pembangunan yang berorientasi pada strategi trikcle down effect yang pemerataan hasil pembangunan dilakukan dengan mempertinggi pertumbuhan ekonomi. (Suwarsono,1991). Fenomena yang terjadi dewasa ini memperlihatkan bahwa strategi tersebut tidak memperlihatkan hasilnya, karena pertumbuhan ekonomi yang dimotori oleh konglomerasi selalu membuat wadah baru bagi setiap tetesan yang diharapkan mengucur.
Berkaitan dengan hal tersebut, Prayitno mengkategorisasikan tiga strategi pembangunan yang perlu dipertimbangkan untuk dapat diimplementasikan (Prayitno, 2009), yaitu pertama strategi growth with equity. Strategi ini merupakan hasil perdebatan antara kelompok growth dan kelompok equity yang memperlihatkan kekecewaan akibat pembangunan yang terlalu GNP-oriented. Pertumbuhan ekonomi tidak memberi pemecahan mengenai masalah kemiskinan di negara-negara sedang berkembang, justru memperlebar jurang perbedaan antara kaya dan miskin.
Kedua, strategi pembangunan, yang diarahkan pada perbaikan human factor, yaitu peningkatkan mutu sumberdaya manusia dipandang sebagai kunci bagi pembangunan yang dapat menjamin kemajuan ekonomi dan kestabilan sosial. Investasi diarahkan bukan saja untuk meningkatkan physical capital stocktetapi juga human capital stock dengan mengambil prioritas kepada usaha peningkatan mutu pendidikan, kesehatan dan gizi. Melalui perbaikan mutu sumberdaya manusia dapat ditumbuhkan inisiatif-inisiatif dan sikap kewiraswastaan, dan lapangan- lapangan kerja baru, dengan demikian produktivitas nasional akan meningkat.
Ketiga, strategi pembangunan berpusat pada rakyat. Strategi pembangunan ini merupakan strategi berorientasi pada manusianya (people centered development), yaitu proses yang memberikan atau memperluas pilihan bagi setiap orang.
Konsep utama dari pembangunan berpusat rakyat adalah suatu pendekatan pembangunan yang memandang inisiatif kreatif dari rakyat sebagai sumberdaya pembangunan yang utama dan memandang kesejahteraan material dan spiritual sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan. Kemunculan strategi ini adalah merupakan reaksi dari pola pembangunan konvensional yang dinilai terlalu berpusat pada produksi, sehingga kebutuhan sistem produksi mendapat tempat yang lebih utama daripada kebutuhan rakyat.
Dari ketiga aspek tersebut, pembangunan berkaitan erat dengan peningkatan kesejahteraan. Karena menakankan pada aspek keadilan, peningkatan mutu seumber daya manusia sebagai wujud investasi jangka panjang, dan pembangunan yang berpusat padamasyarakat, yang di dalamnya  terdapat proses pelibatan, partisipasi dan kepemilikan masyarakat dalam proses pembangunan yang outcome-nya adalah meningkatnya kesejahteraan masyarakat itu sendiri.

A.            LATAR BELAKANG MASALAH
Meski reformasi telah berjalan sepuluh tahun, kebijakan pembangunan nasional selama ini masih ditengarai kurang memberikan perhatian yang memadai pada kesenjangan yang menimbulkan beberapa ekses negatif terhadap pembangunan, seperti menumpuknya kegiatan ekonomi di daerah tertentu saja, melebarnya kesenjangan pembangunan antara daerah perkotaan dan perdesaan, meningkatnya kesenjangan pendapatan perkapita, masih banyaknya daerah-daerah miskin, tingginya angka pengangguran, serta rendahnya produktivitas.
Berbagai ekses negatif tersebut, secara bersama-sama membentuk sebuah isu permasalahan yang sentral bagi pembangunan, yaitu bahwa pembangunan ekonomi nasional selama ini ternyata belum mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara luas, yang ditandai oleh tingginya ketimpangan dan kemiskinan.[1] Pembangunan ekonomi jelas sangat mempengaruhi tingkat kemakmuran suatu Negara. Pembangunan ekonomi yang sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar tidak akan secara otomatis membawa kesejahteraan kepada seluruh lapisan
masyarakat. Pengalaman negara maju dan berkembang membuktikan bahwa meskipun mekanisme pasar mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja yang optimal, ia selalu gagal menciptakan pemerataan pendapatan dan memberantas masalah sosial. Penduduk miskin adalah kelompok yang sering tidak tersentuh oleh strategi pembangunan yang bertumpu pada mekanisme pasar.[2] Kelompok rentan ini, karena hambatan fisiknya (orang cacat), kulturalnya (suku terasing) maupun strukturalnya (penganggur), tidak mampu merespon secepat perubahan sosial di sekitarnya, sehingga terjatuh dalam proses pembangunan yang tidak adil. Walaupun secara bertahap berkurang, jumlah penduduk miskin saat ini masih cukup tinggi, baik di kawasan perdesaan maupun di perkotaan, sehingga kemiskinan masih menjadi perhatian penting dalam pembangunan yang akan datang. Luasnya wilayah dan beragamnya kondisi sosial budaya masyarakat menyebabkan masalah kemiskinan di Indonesia menjadi sangat beragam dengan sifat-sifat lokal yang kuat dan pengalaman kemiskinan yang berbeda.
            Indonesia diperkirakan masih akan menghadapi tekanan jumlah penduduk yang makin besar. Jumlah penduduk yang pada tahun 2005 sebesar 219,9 juta orang diperkirakan meningkat mencapai sekitar 274 juta orang pada tahun 2025.[3] Angkatan kerja diperkirakan meningkat hampir dua kali lipat jumlahnya dari kondisi saat ini. Dengan komposisi pendidikan angkatan kerja yang pada tahun 2004 sekitar 50 persen berpendidikan setingkat SD, dalam 20 tahun ke depan komposisi pendidikan angkatan kerja diperkirakan akan didominasi oleh angkatan
kerja yang berpendidikan setingkat SMP sampai dengan SMU. Dengan demikian, kapasitas perekonomian pada masa depan dituntut untuk mampu tumbuh dan berkembang agar mampu menyediakan tambahan lapangan kerja yang layak.

B.                 MENENTUKAN STRATEGI PEMBANGUNAN
Proses pembangunan yang dilaksanakan setiap negara dewasa ini sesungguhnya adalah merupakan suatu bentuk perubahan sosial, yang terjadi baik di dalam segi struktur sosial ataupun hubungan sosial, yang antara lain meliputi perubahan dalam segi distribusi kelompok usia, tingkat pendidikan rata-rata, tingkat kelahiran penduduk, penurunan kadar rasa kekeluargaan dan informalitas antar tetangga (Paul B. Horton, Chester L. Hunt, 1984: 208).
            Perubahan sosial merupakan proses yang berlangsung dalam struktur, fungsi suatu sistem sosial, dan peranan institusi yang berlaku dalam suatu jangka waktu tertentu. Perubahan sosial yang berlangsung mengacu pada kemajuan masyarakat, dengan suatu pola tertentu. Atau dengan perkataan lain perubahan itu merupakan keadaan yang diinginkan, bersifat positif dan bermanfaat, ditimbulkan dan direncanakan.
Proses perubahan ini harus dimulai dengan motivasi yang kuat untuk menerima dan bersedia melakukan perubahan-perubahan, serta tujuan perubahan itu harus ditetapkan terlebih dahulu sebelumnya. Perubahan berencana harus merupakan proses rasional yang mempunyai dasar ilmiah dan berlangsung dalam suasana yang demokratis. Oleh karena itu perubahan berencana itu harus didasarkan atas keputusan dan tindakan yang tepat serta menelaah secara seksama berbagai konsekuensinya.
Pembicaraan mengenai model-model pembangunan tidak dapat dilepaskan dari sistem ekonomi. Pilihan terhadap model pembangunan berkaitan erat dengan sistem ekonomi yang dipilih. Pembagian sistem ekonomi yang dilakukan oleh David C. Korten dengan mengutip Kenneth Boulding,[4] yang membedakan dua sistem ekonomi, yaitu: Cowboy Economic System dan Space-Ship Economic System (David C. Korten, 1990). Orientasi pembangunan ekonomi perlu diikuti oleh pembangunan sosial, yang diartikan sebagai suatu usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan secara menyeluruh. Paling tidak hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan sosial tersebut adalah (a) social services, (b) social welfare services, dan (c) community development. Paling tidak, meminjam asumsi Todaro (M. P. Todaro, 1989: 92), ada tiga sasaran yang seyogyanya dicapai dalam pembangunan sosial, yaitu :
Pertama, meningkatkan ketersediaan dan memperluas distribusi barang-barang kebutuhan pokok.
Kedua, meningkatkan taraf hidup, yaitu selain meningkatkan pendapatan, memperluas kesempatan kerja, pendidikan yang lebih baik, dan juga perhatian yang lebih besar terhadap nilai-nilai budaya dan kemanusiaan, yang keseluruhannya akan memperbaiki bukan hanya kesejahteraan material tetapi juga menghasilkan rasa percaya diri sebagai individu ataupun sebagai suatu bangsa.
Ketiga, memperluas pilihan ekonomi dan sosial yang tersedia bagi setiap orang dan setiap bangsa dengan membebaskan mereka dari perbudakan dan ketergantungan bukan hanya dalam hubungan dengan orang dan negara lain tetapi juga terhadap kebodohan dan kesengsaraan manusia. Pembangunan, dengan demikian, harus dipahami sebagai suatu proses berdimensi jamak yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat, dan kelembagaan nasional.
Setiap negara menerapkan teori pembangunan yang berbeda dan dengan paradigma yang berbeda pula, baik itu didasarkan atas teori modernisasi ataupun teori depedensi. Jika ditelaah lebih lanjut terlihat bahwa selama ini Indonesia menganut strategi pembangunan yang berorientasi pada strategi tricle down effect yang pemerataan hasil pembangunan dilakukan dengan mempertinggi pertumbuhan ekonomi. Fenomena yang terjadi dewasa ini memperlihatkan bahwa strategi tersebut tidak memperlihatkan hasilnya, karena pertumbuhan ekonomi yang dimotori oleh konglomerasi selalu membuat wadah baru bagi setiap tetesan yang diharapkan mengucur.
Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat beberapa strategi pembangunan yang perlu dipertimbangkan untuk dapat diimplementasikan, yaitu pertama strategi growth with equity merupakan strategi pembangunan lain yang perlu dipertimbangan. Strategi ini merupakan hasil perdebatan sengit antara kelompok growth dan kelompok equity yang memperlihatkan kekecewaan akibat pembangunan yang terlalu GNP-oriented. Pertumbuhan ekonomi tidak memberi pemecahan mengenai masalah kemiskinan di negara-negara sedang berkembang, justru memperlebar jurang perbedaan antara kaya dan miskin.
Kedua, strategi pembangunan, yang diarahkan pada perbaikan human factor, yaitu peningkatkan mutu sumberdaya manusia dipandang sebagai kunci bagi pembangunan yang dapat menjamin kemajuan ekonomi dan kestabilan sosial. Investasi harus diarahkan bukan saja untuk meningkatkan physical capital stock tetapi juga human capital stock dengan mengambil prioritas kepada usaha peningkatan mutu pendidikan, kesehatan dan gizi. Melalui perbaikan mutu sumberdaya manusia dapat ditumbuhkan inisiatif-inisiatif dan sikap kewiraswastaan, dan lapangan-lapangan kerja baru, dengan demikian produktivitas nasional akan meningkat.
Dan ketiga adalah strategi pembangunan yang berpusat pada rakyat. Strategi pembangunan ini merupakan strategi yang berorientasi pada manusianya (people centered development), yaitu suatu proses yang memberikan atau memperluas pilihan bagi setiap orang. Sejalan dengan perkembangan pemikiran yang berorientasi memperbaiki kelemahan-kelemahan COR model atau production function approach tersebut, tetapi berlainan dengan titik tolak teori pengembangan sumberdaya manusia yang sasarannya diarahkan pada perbaikan mutu sumberdaya manusia.
Konsep utama dari pembangunan berpusat rakyat adalah suatu pendekatan pembangunan yang memandang inisiatif kreatif dari rakyat sebagai sumberdaya pembangunan yang utama dan memandang kesejahteraan material dan spiritual mereka sebagai tujuan yang ingin dicapai oleh proses pembangunan, sehingga terkesan pembangunan berdimensi rakyat ini bersifat sangat normatif. Kemunculan strategi ini adalah merupakan reaksi dari pola pembangunan konvensional yang dinilai terlalu berpusat pada produksi, sehingga kebutuhan sistem produksi mendapat tempat yang lebih utama daripada kebutuhan rakyat. Selain itu pola pembangunan konvensional dinilai banyak berakibat terhadap martabat manusia, dan lingkungan. Alternatif teori pembangunan yang diperlukan adalah yang memberikan perhatian terhadap potensi manusiawi dan prinsip pembangunan swadaya.
 
C.                REORIENTASI STRATEGI PEMBANGUNAN
·         Paradigma Pembangunan Sosial
Pembangunan Sosial dapat ditafsirkan sebagai pembangunan yang melibatkan manusia secara langsung. Menurut definisi UNDP, Pembangunan manusia (human development) adalah suatu proses yang memberikan atau memperluas pilihan bagi ilmu fisika setiap orang. Seperti telah diuraikan, bahwa pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan rata-rata perorangan (per capita income) tidak selamanya meningkatkan pendapatan perorangan secara merata. Dan logika teori ekonomi pembangunan tentang "penetesan ke bawah" sudah semakin menampakkan kelemahan-kelamahannya.
Proses penetesan ke bawah tidak terjadi dengan sendirinya tanpa kemampuan kelompok masyarakat berpenghasilan rendah untuk aktif meraih peluang-peluang yang muncul atau menciptakan peluangnya sendiri untuk memperoleh penghasilan. Golongan ekonomi kuat tidak dapat diharapkan secara sukarela menyalurkan sumberdayanya kepada golongan ekonomi lemah. Pemerataan tidak berjalan otomatis, dan tidak cukup hanya dengan menghimbau dan mengandalkan niat baik golongan ekonomi kuat untuk menolong masyarakat miskin.
Menarik garis kemunculan pembangunan sosial sebagai suatu paradigma tidak terlepas dari pola pembangunan yang pernah dilakukan di negara-negara maju. Kesadaran itu muncul sekitar tahun 1960-an, justru karena terlihat begitu banyak kemiskinan dan pengangguran. Sehingga sekitar tahun 1970-an pembangunan ekonomi didefinisikan kembali dalam rangka pengurangan atau pemberantasan kemiskinan, ketidakmerataan, dan pengangguran dalam hubungannya dengan perekonomian yang sedang tumbuh. Profesor Dudley Seers seperti dikutip Todaro menjelaskan

Pertanyaan-pertanyaan yang harus dipermasalahkan tentang pembangunan suatu negara adalah: Apa yang terjadi dengan kemiskinan? dengan pengangguran? dengan ketidakmerataan? Apabila ketiga hal itu semakin menurun maka pasti
pembangunan sedang terjadi di negara tersebut. Apa satu atau dua dari ketiga masalah tersebut ternyata menjadi semakin buruk, apalagi kalau semuanya, maka agak aneh kalau kita menyebut pembangunan, meskipun pendapatan per kapita meningkat dua kali (M. P. Todaro, 1989: 88).

Oleh karena itu kondisi keterbelakangan adalah suatu keadaan terasing yang dialami secara sadar, dan yang tidak dapat ditoleransi, terutama karena semakin banyaknya orang yang mendapat informasi tentang pembangunan masyarakat di tempat lain dan kemudian menyadari bahwa ternyata perangkat teknik dan kelembagaan untuk menghilangkan kemiskinan, kesengsaraan dan penyakit telah tersedia. Dengan demikian, Todaro menyimpulkan, bahwa pembangunan harus dipahami sebagai suatu proses berdimensi jamak yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat, dan kelembagaan nasional, seperti halnya percepatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketidakmerataan, dan pemberantasan kemiskinan absolut (M. P. Todaro, 1989: 90).
Pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial tidak dapat dinilai sebagai dua entitas dikotomis yang saling terpisah satu sama lain. Melainkan dua hal yang berjalan bersama-sama, yaitu pemaknaan dimensi sosial terhadap pembangunan ekonomi. Atau dengan perkataan lain, pembangunan pada dasarnya harus menampilkan perubahan yang menyeluruh yang meliputi usaha penyelarasan keseluruhan sistem sosial terhadap kebutuhan dasar dan keinginan-keinginan yang berbeda bagi setiap individu dan kelompok sosial, berpindah dari suatu kondisi yang dianggap sebagai tidak menyenangkan kepada suatu kondisi atau situasi kehidupan yang dianggap "lebih baik".
Dalam membangun paradigma pembangunan sosial ini, dapat mengadaptasi pemikiran Goulet (Denis Goulet, 1971: 87-94), yang menyebutkan sekurang-kurangnya terdapat tiga nilai inti yang seharusnya merupakan dasar konsepsi dan panduan praktis pembangunan, yaitu Pertama nafkah hidup yang berarti bahwa suatu fungsi dasar dari semua kegiatan ekonomi adalah untuk melengkapi sebanyak mungkin orang dengan alat-alat yang dapat mengatasi keputusasaan dan kesengsaraan dari kurangnya pangan, papan, kesehatan, dan perlindungan. Berkaitan dengan hal ini, dapat dikatakan bahwa pembangunan ekonomi adalah suatu syarat keharusan (neccesary condition) bagi perbaikan kualitas kehidupan. Kedua, adalah harga diri menjadi "orang", yaitu suatu kenyataan bahwa setiap orang dan semua masyarakat mendambakan beberapa bentuk dasar harga diri, meskipun dinyatakan dengan: ciri keaslian, identitas, martabat, sikap hormat, penghargaan atau pengakuan. Ketiga adalah kebebasan, bukan dalam arti politik atau ideologi, tetapi dalam pengertian kebebasan yang lebih mendasar atau emansipasi dari keterasingan kondisi-kondisi material dalam kehidupan dan dari perbudakan sosial, terhadap alam, kebodohan orang lain, kesengsaraan, lembaga-lembaga dan kepercayaan yang bersifat dogmatis.
Moeljarto berpendapat, bahwa sekurang-kurangnya pembangunan sosial itu memiliki tiga kategori makna (Moeljarto T., 37-40), yaitu (1) pembangunan sosial sebagai pengadaan pelayanan masyarakat, (2) pembangunan masyarakat sebagai upaya terencana untuk mencapai tujuan sosial yang kompleks dan bervariasi, dan (3) pembangunan sosial sebagai upaya yang terencana untuk meningkatkan kemampuan manusia untuk berbuat. Beragamnya tujuan dan makna pembangunan sosial, maka dalam pertemuan ahli dari UNCRD di Nagoya menerima definisi lengkap sebagai (Moeljarto T., 40):

"Pembangunan Sosial tidak hanya diukur melalui peningkatan akses pelayanan seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan, melainkan melalui kemajuan dalam pencapaian tujuan sosial yang lebih kompleks dan kadang-kadang beragam seperti persamaan, 'keadilan sosial', promosi budaya, dan ketentraman batin, juga peningkatan kemampuan manusia untuk bertindak, sehingga potensi kreatif mereka dapat dikeluarkan dan membentuk perkembangan sosial."

Untuk mewujudkan tujuan pembangunan sosial diperlukan strategi yang dapat diterapkan dalam upaya meningkatkan taraf hidup masyarakat, Midgley (1995: 103-138) dalam Adi (2003: 49) mengemukakan ada 3 (tiga) strategi besar, yaitu:
1.   Pembangunan Sosial melalui Individu (social development by inddividuals), di mana individu-individu dalam masyarakat secara swadaya membentuk usaha pelayanan masyarakat guna memberdayakan masyarakat. Pendekatan ini lebihmengarah pada pendekatan individualis atau 'perusahaan' (individualist or enterprise approach).
2.   Pembangunan Sosial melalui Komunitas (Social Development by Communitites), di mana kelompok masyarakat secara bersama-sama berupaya mengembangkan komunitas lokalnya. Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama pendekatan komununitarian (communitarian approach).
3.   Pembangunan Sosial melalui Pemerintah (Social Development by Government), di mana pembangunan sosial dilakukan oleh lembaga-lembaga di dalam organisasi pemerintah (govenement agencies). Pendekatan ini lebih dikenal dengan nama pendekatan statis (statist approach).

Berkaitan dengan kondisi Indonesia yang kompleks, ternyata tidak dapat dipilih satu dari tiga strategi tersebut, tetapi ketiga strategi tersebut perlu terus dilaksanakan. Artinya, ketika pemerintah melakukan pembangunan sosial, maka peran-peran dari swasta dan sektor ketiga (masyarakat madani) terus ditumbuhkan. Sehingga, tidak terjadi dominasi pemerintah dalam penanganan pembangunan sosial. Masing-masing pihak terus menunjukkan kiprahnya. Bahkan, bisa melakukan sinergi untuk memepercepat proses pembangunan sosial. Jika swasta dan sektor lain mampu memberikan kontribusi pada Negara, maka diharapkan akan dapat mengurangi beban pemerintah. Sehingga, pemerintah bisa mengalokasikannya untuk program strategis lainnya.

·         Strategi Pembangunan Kabinet Indonesia Bersatu[5]
a.      Mewujudkan Keadilan dan Pemerataan
Perubahan yang terjadi pada setiap bidang pembangunan, akan saling mempengaruhi dan berdampak terhadap perkembangan di bidang lainnya. Setiap perubahan di bidang pembangunan ekonomi secara langsung akan mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat, fluktuasi yang diakibatkan oleh krisis moneter, pada awal pertengahan tahun 1998, misalnya, telah menimbulkan implikasi yang luas terhadap pembangunan bidang kesejahteraan sosial. Artinya, titik penting pembangunan sosial adalah mengupayakan agar berbagai masalah sosial seperti masalah kemiskinan dan keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial dan penyimpangan perilaku, ketertinggalan/ keterpencilan, serta korban bencana dan akibat tindak kekerasan dapat ditangani secara terencana, terpadu dan berkesinambungan.
Upaya mengangkat derajat kesejahteraan masyarakat tersebut, dapat dipandang sebagai bagian dari investasi sosial yang ditujukan untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas SDM Bangsa Indonesia, sehingga mampu menjalankan tugas-tugas kehidupannya secara mandiri sesuai dengan nilai-nilai yang layak bagi kemanusiaan. Dalam hal ini, implementasi strategi pembangunan sosial merupakan salah satu solusi untuk mengatasi kesenjangan sosial ekonomi serta berbagai kecenderungan primordialisme dan eksklusivisme yang mengancam tatanan hidup bangsa Indonesia. Jika hal ini di abaikan, maka akan mengarah pada terjadinya friksi dan konflik horizontal, sehingga pada gilirannya dapat menimbulkan disintegrasi sosial yang menurunkan harkat dan martabat bangsa.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945, yang dikeluarkan sehari setelah proklamasi, tercantum cita-cita dan tujuan nasional Indonesia. Para pendiri bangsa bertekad untuk mendirikan suatu negara yang “merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur,” dengan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.” Dalam kaitan ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam Pidato Kenegaraan di hadapan SidangParipurna DPR, 16 Agustus 2009, menyampaikan, bahwa Esensi dari program lima tahun mendatang adalah peningkatan kesejahteraan rakyat, penguatan demokrasi, dan penegakan keadialan. Keadilan yang lebih baik itu, ditandai dengan penghormatan terhadap praktik kehidupan yang non diskriminatif, persamaan kesempatan, dan tetap memelihara kesetiakawanan sosial dan perlindungan bagi yang lemah.
Dalam Pidato Kenegaraan tersebut SBY menyampaikan tiga pilar utama dalam meyusun strategi Pembangunannya, yaitu pilar pertama, menjaga dan memperkuat kemandirian, karena kemandirian adalah dasar dari kekuatan, ketahanan, dan kemampuan untuk terus maju sebagai bangsa. Indonesia akan menjadi bangsa yang tidak didikte, baik secara politik, ekonomi, maupun militer oleh negara manapun. Pilar kedua, adalah memiliki daya saing yang makin tinggi. Dalam era globalisasi yang sarat dengan persaingan dan tantangan ini, bangsa yang menang dan unggul adalah bangsa yang produktif dan inovatif, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, cerdas mengambil peluang, serta berani menghadapi perubahan. Dan, pilar ketiga adalah mampu membangun dan memiliki peradaban bangsa yang unggul dan mulia. Itulah sebabnya, perlu terus mempertahankan nilai, jati diri dan karakter bangsa yang luhur dan terhormat, meningkatkan semangat dan etos kerja sebagai bangsa yang kuat dan gigih, dan membangun peradaban yang menghadirkan persaudaraan dan kerukunan bangsa, serta memelihara kelestarian alam.

b.   Arah Pembangunan Ekonomi
Pada bagian lain pidatonya, berkaitan dengan pembangunan ekonomi, SBY menyampaikan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia ke depan akan memadukan pendekatan sumber daya (resources), pengetahuan (knowledge), dan budaya (culture). Ekonomi Indonesia, harus memiliki kesinambungan. Pertumbuhan ekonomi yang kita pilih dan anut adalah pertumbuhan disertai pemerataan, growth with equity, agar benar-benar membawa rasa adil.
Dalam pembangunan ekonomi lima tahun mendatang, pemerintahan SBY menempatkan peningkatan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama, dengan berlandaskan keunggulan daya saing, pengelolaan sumber daya alam, dan peningkatan sumber daya manusia. Ekonomi Indonesia harus tumbuh semakin tinggi, namun pertumbuhan ekonomi yang diciptakan adalah pertumbuhan yang inklusif, pertumbuhan yang berkeadilan, dan pertumbuhan disertai pemerataan.
Dalam menjalankan kebijakan ekonomi nasional ke depan, Pemerintah akan memantapkan tujuh prioritas kebijakan yang selama ini telah kita jalankan. Ketujuh kebijakan itu adalah:
1.   Menjaga agar sektor riil agar terus bergerak, melalui berbagai kebijakan termasuk insentif fiskal untuk mendorong sektor riil tumbuh lebih cepat.
2.   Mencegah terjadinya gelombang PHK seraya terus menurunkan angka pengangguran.
3.   Menjaga stabilitas harga, terutama bahan pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat.
4.   Menjaga dan meningkatkan daya beli masyarakat, dalam bentuk penurunan tarif pajak penghasilan orang pribadi (OP), peningkatan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP), penurunan harga BBM, dan pemberian BLT pada saat terjadi tekanan yang sangat berat terhadap kelompok keluarga miskin.
5.   Memberikan perlindungan pada masyarakat miskin atau hampir miskin (near poor), karena salah satu fungsi negara adalah memberikan perlindungan dan menyediakan jaring pengaman sosial (social safety net) kepada masyarakat lapisan bawah.
6.   Menjaga ketahanan pangan dan energi. Harga pangan harus tetap terjangkau dengan jumlah yang cukup.
7.   Tetap berupaya mempertahankan pertumbuhan ekonomi nasional pada angka yang relatif tinggi, setidaknya antara 4-4,5 persen.

c.   Visi Indonesia: Menjadi Bangsa Unggul
Dalam berbgai kesempatan, SBY selalu menyampaikan keyakinan, bahwa tiga puluh tahun, lima puluh tahun ke depan di abad dua puluh satu ini, Indonesia akan menjadi negara yang maju, bermartabat dan sejahtera. Indonesia seperti itu akan bisa kita wujudkan manakala kita bisa memperkokoh tiga pilar kehidupan bernegara kita yaitu: Kemandirian, Daya Saing dan Peradaban yang unggul.
Bangsa yang unggul adalah bangsa yang dapat mengatasi keadaan dan memberi kontribusi pada permasalahan umat manusia. Kuncinya adalah inovasi, termasuk dan terutama inovasi teknologi yang harus kita lakukan secara fundamental dan secara terus menerus. Hanya bangsa yang inovatif, adaptif dan produktiflah yang akan mampu menjaga kelangsungan hidupnya, dan berjaya di muka bumi ini. Di sini menonjol peran penelitian, pengembangan dan aplikasi teknologi serta budaya unggul dan juga kewirausahaan.
Bagi SBY, membangun budaya unggul (culture of excellence) dan peradaban yang mulia merupakan suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia dengan mengembangkan karakter, semangat, dan keuletan bangsa. Inilah visi Indonesia untuk tahun 2025. Sasaran utama yang dituju di tahun 2025 adalah (1) persatuan dan harmoni sosial yang semakin kokoh, (2) stabilitas nasional kita mesti semakin mantap, (3) menjaga hukum dan ketertiban (law and order). (4) menjaga dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, (5) meningkatkan kesejahteraan rakyat, (6) meningkatkan pembangunan Tata Kelola Pemerintahan yang baik (good governance) dan Pemberantasan Korupsi, (7) perlindungan lingkungan hidup, mewujudkan pembangunan yang maju, berkeadilan dan berketahanan namun juga berwawasan lingkungan, dan (8) pembangunan daerah di seluruh wilayah tanah air harus berjalan makin intensif.

D.        PEMENUHAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT SEBAGAI PRINSIP DASAR
Target-target pembangunan tersebut hanya mungkin tercapai apa bila pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial dalam dilaksanakan secara sinergis dan berkesinambungan. Dalam pembangunan sosial, prinsip dasarnya adalah bahwa perwujudan keadilan sosial perlu diberi prioritas utama dalam usaha pembangunan masyarakat Prinsip ini mengandung makna, bahwa kemanusiaan sebuah masyarakat dapat diukur dari perhatiannya kepada anggota masyarakatnya yang paling miskin, paling lemah, dan paling menderita. Dalam kaitan ini, terdapat tiga hal yang perlu mendapatkan perhatian, yaitu (1) kesetiakawanan sosial, (2) kesenjangan sosial, ketimpangan sosial, (3) kemiskinan berkaitan dengan struktur-struktur ketergantungan. Dalam kaitan ini, implikasinya adalah perlunya jaminan tentang:
1.   Persamaan dalam menikmati hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya; negara dapat melakukan batasan-batasan terhadap pelasanaan hak ini melalui pengaturan dalam undang-undang sejauh tidak bertentangan dengan hakekatnya dan sematamata demi tujuan memajukan kesejahteraan umum dalam masyarakat demokratis;
2.   Mengakui hak untuk bekerja, mendapatkan nafkah yang layak dari pekerjaan itu yang melakukan pekerjaan yang secara bebas dipilih, melakukan perlindungan terhadapnya;
3.   Negara menyelenggarakan dan menjamin hak setiap orang atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial; dan
4.   Memberikan jaminan kepada setiap orang atas standar penghidupan yang layak, bebas dari kelaparan, dan menikmati standar hidup yang memadai yang dapat dicapai untuk kesehatan jasmani dan rohani.

Jaminan terhadap pelaksanaan terhadap prinsip dasar tersebut, perlu dioperasionalkan dalam konstitusi yang memberikan jaminan terhadap (a) pemenuhan hak atas pekerjaan; (b) pemenuhan hak atas pangan; (c) pemenuhan hak atas kesehatan; (d) hak atas kepemilikan; dan (e) pemenuhan hak atas pendidikan. Arti penting pemenuhan hak-hak tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
 
a.      Arti Penting Hak atas Pekerjaan
Pekerjaan merupakan hak dasar manusia yang keberadaannya tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Tanpa memiliki pekerjaan, seseorang mustahil dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, apalagi untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya. Oleh karena itu, maka jaminan akan terpenuhinya hak-hak tersebut menjadi kewajiban yang harus diwujudkan oleh negara.
Secara sistematis fungsi penting pekerjaan bagi kehidupan seseorang, dapat dibagi atas dua bagian, yaitu pertama, fungsi untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian, baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya. Fungsi ini terkait dengan tingkat upah yang diterima oleh seorang pekerja. Itu berarti, terpenuhinya hak atas pekerjaan seseorang secara tidak langsung memberi jaminan kesejahteraan kehidupan bagi orang yang bersangkutan. Dengan terpenuhinya hak atas pekerjaan yang layak, maka akan ada jaminan, bahwa seseorang memiliki tingkat pendapatan yang layak sebagai balas jasa dari pekerjaan yang dimilikinya itu.
Kedua, fungsi status, yaitu seseorang yang memiliki pekerjaan akan mempunyai status sosial yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan seseorang yang tidak atau belum memiliki pekerjaan. Orang menganggap pekerjaan begitu penting, sehingga untuk mendapatkannya orang rela berbuat apa saja.

b.      Pemenuhan Hak atas Pangan
Hak atas pangan dapat ditafsirkan sebagai right not to be hungry, yaitu hak bagi setiap orang atau sekelompok orang dalam suatu masyarakat, wilayah atau suatu negara untuk mendapatkan kecukupan makanan yang dibutuhkan bagi keperluan menjalankan aktivitas hidupnya seperti bekerja dalam batas-batas yang masih memenuhi ukuran kesehatan. Kondisi dimana hak atas pangan tidak terpenuhi dalam wilayah tersebut tidak tersedia jumlah makanan yang dapat mencukupi kebutuhan seluruh masyarakat setempat. Hal ini disebabkan karena ketersediaan pangan tidak juga mencerminkan adanya kepastian bahwa setiap individu dalam masyarakat memiliki kemampuan atau kontrol terhadap pangan untuk kepentingannya. Oleh karena itu di samping ketersediaan pangan, faktor kepemilikan atau entitlement juga merupakan kunci bagi seseorang atau sekelompok orang dalam memiliki akses terhadap pangan.

c.       Pemenuhan Hak atas Kesehatan
Kesehatan adalah suatu kondisi sehat fisik, mental, dan sosial seseorang, atau masyarakat dikatakan sehat bukan hanya tidak ada penyakit atau kelemahan pada dirinya, tetapi dikatakan sehat apabila terjamin hubungan yang sehat antara seseorang dengan lingkungan fisik dan lingkungan sosialnya. Pada dataran ini kesehatan mempunyai makna atau arti penting sebagai salah satu hak dasar manusia. Tanpa kesehatan seseorang akan kesulitan untuk mencapai kualitas hidup yang dicita-citakan.
Di lain pihak, adanya jaminan hak atas kesehatan tersebut juga melekat kebebasan untuk memilih dan memutuskan sendiri kualitas hidup yang diinginkan. Dalam pandangan ini kesehatan mempunyai makna dan bernilai ekonomi. Artinya, apabila seseorang dalam kondisi sakit, maka kesempatan untuk melakukan aktivitas produktif menjadi terhambat, yang pada akhirnya kesempatan meningkatkan kesejahteraan juga terganggu.
Masyarakat menghadapi masalah dalam hal kesehatan, yaitu tidak meratanya akses masyarakat pada pelayanan kesehatan untuk mengatasi faktor kesakitan. Ini terjadi selain karena faktor ketidakmampuan masyarakat miskin untuk mengakses pelayanan tersebut, juga disebabkan karena faktor pelayanan kesehatan yang sudah menjadi komoditas ekonomi, sehingga lebih mengedepankan prinsip those who use them most, pay the highest total price. Kondisi ini semakin menjauhkan akses si miskin terhadap pelayanan kesehatan.
Ketidakmampuan masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan lebih merupakan masalah yang diciptakan, baik oleh negara atau pemilik kapital, dalam bentuk pengelolaan pelayanan kesehatan yang memang didisain diskriminatif, yang hanya menguntungkan kelompok kaya dan merugikan kelompok miskin. Dalam kaitan ini, kelembagaan merupakan faktor penyebab mengapa akses masyarakat miskin terhadap pelayanan kesehatan menjadi rendah kalaupun dapat dikatakan tidak ada.
Oleh karena itu, implikasi kebijaksanaan yang dibutuhkan agar terjadi pemerataan akses terhadap pelayanan kesehatan adalah perlunya pemikiran redistribusi sumber-sumber ekonomi dan adanya sistem pengelolaan yang lebih adil. Dalam konteks ini, redistribusi tersebut tidak hanya ditujukan pada kelompok yang tidak mampu saja, tetapi juga dilakukan pada lembaga-lembaga yang terkait dengan pelayanan kesehatan. Tujuannya agar pusat-pusat pelayanan kesehatan yang berada di lingkungan kelompok miskin dapat memberikan pelayanan yang
tidak diskriminatif.

d.      Pemenuhan Hak atas Kepemilikan
Kemungkinan untuk mempunyai harta kepemilikan, merupakan suatu dasar bagi setiap orang untuk menunjukkan kualitas dari kehidupannya. Meski tidak berlaku bagi semua orang, kepemilikan komoditas ekonomi yang semakin besar akan memperbaiki kualitas hidupnya dengan semakin banyak kebutuhan hidup yang dapat tercukupi. Selain itu dalam kepemilikan juga secara otomatis melekat kebebasan untuk memutuskan sendiri hak-hak ekonomi atas kepemilikan tersebut.
Fungsi dasar atas kepemilikan adalah pertama, meningkatkan kesejahteraan, keamanan, kebebasan, dan kemandirian. Fungsi ini melekat pada kepemilikan atas suatu komoditas ekonomi karena komoditas tersebut akan membentuk suatu kekayaan perekonomian dan menghasilkan pendapatan bagi pemiliknya. Dengan demikian, maka pada saat yang sama kepemilikan akan meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan kemandirian ekonomi pemiliknya.
Kedua, sebagai dorongan untuk mempertahankan nilai dan meningkatkan efisiensi atas sumber-sumber ekonomi. Oleh karena itu, dengan adanya kepentingan pemilik harta untuk mempertahankan dan meningkatkan nilai harta bendanya, maka kondisi tersebut bisa mendorong pemilik harta tersebut memperlakukan harta bendanya sendiri secara berhati-hati. Pilihan-pilihan perlakuan atas harta benda yang dimiliki, akan seoptimal mungkin diupayakan untuk memperoleh pendapatan. Dengan demikian maka efisiensi ekonomi akan tercapai karena didukung oleh keputusan-keputusan agregat dalam mempertahankan dan meningkatkan nilai harta benda tadi.
Ketiga, adalah fungsi pengaruh, yaitu dengan melekatnya kebebasan dalam kepemilikan harta tersebut, maka secara otomatis melekat pula kekuatan untuk mempengaruhi tatanan dalam masyarakat. Ironisnya, seiring dengan semakin kompleksnya motif-motif yang muncul dalam sebuah tatanan sosial masyarakat, fungsi pengaruh dari kepemilikan ini menjadi semakin luas bidang pengaruhnya hingga ke berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti politik, penyelenggaraan negara, budaya, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Pada gilirannya seluruh tatanan formal ekonomi yang terbentuk berada dalam pengaruh dan dominasi individu-individu yang memiliki kapital.

e.       Arti Penting Pemenuhan Hak atas Pendidikan
Pendidikan yang berkualitas hendaknya diarahkan pada perkembangan sepenuhnya atas kepribadian dan martabat manusia. Pendidikan akan memperkuat penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan yang hakiki, yang memungkinkan setiap orang untuk berpartisipasi efektif dalam masyarakat yang bebas, yang akan mampu meningkatkan pengertian, toleransi, dan persahabatan di antara warga negara.
Pendidikan dasar harus diwajibkan dan tersedia bebas untuk semua orang karena merupakan hak dasar manusia yang keberadaannya tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Setiap orang (semua lapisan masyarakat) berhak mendapatkan paling tidak pendidikan dasar yang akan membantu mereka keluar dari ketidakmampuan membaca dan menulis. Jika dimungkinkan, pendidikan (bukan pengajaran) dimulai dengan sistem pendidikan tentang kebahasaan: didukung oleh beragam pendidikan non-formal yang tidak harus dilakukan di kelas, dan terus diupayakan untuk mencapai tingkat pembelajaran yang lebih tinggi. Dengan modal inilah diharapkan masing-masing individu mampu mengembangkan dirinya.
Pendidikan dasar ini diharapkan dapat membantu pembentukan motivasi untuk pembelajaran seumur hidup. Setiap orang akan dengan sadar berusaha memperbaiki kualitas pendidikan. Jika hal ini terjadi, setiap orang akan selain memperoleh pengetahuan yang bermanfaat, mereka juga akan memiliki kemampuan berpikir, keterampilan, dan nilai etika dan sosial yang dibutuhkan untuk mengembangkan kemampuan semaksimal mungkin guna terpenuhinya hak-hak yang lain.
Pendidikan lanjutan dalam bentuk-bentuk yang berbeda, termasuk pendidikan menengah teknis dan kejuruan harus tersedia secara umum dan mudah didapat untuk semua orang dan sarana yang sesuai, dapat diikuti semua orang dan sarana yang sesuai, dan khususnya dengan pengenalan yang lebih maju tentang pendidikan yang bebas.
Pengembangan kebijakan pendidikan dengan tidak melepaskan diri dari dunia usaha akan lebih mengangkat pendidikan kejuruan. Pendidikan kejuruan merupakan unsur penting dalam penciptaan lapangan pekerjaan dan pemecahan akan masalah pengangguran. Teknologi yang terus berkembang akan meninggalkan mereka yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan cepat. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan tidak akan melepaskan diri dari perkembangan teknologi.


[1] Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, muncul sebagai fenomena yang bukannya tanpa masalah, karena keberhasilan pembangunan sering diukur dalam istilah teknis ekonomi dengan Produk Nasional Bruto (PNB atau GNP) dan Produk Domestik Bruto (PDB atau GDP), maka kekayaan keseluruhan yang dimiliki suatu negara tidak berarti bahwa kekayaan itu merata dimiliki oleh semua penduduknya. Artinya, dalam pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tidak tertutup kemungkinan adanya sebagian kecil orang di dalam negara yang memiliki kekayaan berlimpah, sedangkan sebagian yang lain hidup dalam kemiskinan. Sehingga, sering memunculkan ironi di negara-negara yang PNB per kapitanya tinggi, namun banyak kemiskinan dimana-mana. Tingginya GNP ternyata belum menjamin terwujudnya suatu kesejahteraan rakyat, karena hasilnya tidak selalu diterima secara merata, akibat dari prioritas pembangunan yang ditetapkan.
[2] Kemiskinan yang timbul dalam masyarakat, bukanlah semata-mata sebagai akibat dari faktor-faktor yang ada dalam dirinya sendiri, melainkan sebagai akibat dari eksploitasi. Kemiskinan dalam kelompok masyarakat ada hubungannya dengan kemakmuran yang terjadi pada kelompok elite dalam masyarakat. Kemakmuran pada golongan kecil masyarakat yang merupakan elite itu bukan hanya merupakan gejala ekonomi, melainkan juga gejala politik, bahkan juga merupakan gejala kultural. Kemiskinan muncul karena kurangnya kesetiakawanan sosial, dan mereka tidak mendapatkan sumber kekayaan yang ada di masyarakat. Terdapat hubungan kausal antara kemiskinan dengan inequality dalam penguasaan atas berbagai sumberdaya, pendistribusian dan pengkonsumsiannya dalam masyarakat. Persoalan mendasar yang dihadapi adalah bukan saja "bagaimana mengejar pertumbuhan ekonomi" tetapi juga "bagaimana melakukan redistribusi pendapatan dan menumbuhkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan”, dengan mengakomodasi masalah politik, sosial, dan budaya.
[3] Parameter kependudukan yang perlu diperbaiki antara lain adalah menurunnya angka kelahiran, meningkatnya usia harapan hidup, dan menurunnya angka kematian bayi. Pengendalian kuantitas dan laju pertumbuhan penduduk penting diperhatikan untuk menciptakan penduduk tumbuh seimbang dalam rangka mendukung terjadinya kualitas demografi yang ditandai dengan jumlah penduduk usia produktif lebih besar daripada jumlah penduduk usia non-produktif.
[4] Artikelnya terdapat dalam buku yang diedit oleh David C. Korten dan Rudy Klaus, People Centered Development: Contribution toward theory and planning frameworks, yang gagasannya dikemukakan oleh Corten dalam bukunya yang berjudul Getting to the Twenty First Century: Voluntary Action and The Global Agenda.
[5] Disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Rapat Paripurna DPR tanggal 16 Agustus 2009, sebagai rencana pembangunan 2009-2014.

sumber:
Adi, Isbandi Rukminto. 2002. Pemikiran-pemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Lembaga Penerbitan FEUI
Jones, Howard. 1990. Social Welfare in Third World Development, London: MacMillan.
Midgley, James. 2005. Pembangunan Sosial, Perspektif Pembangunan Dalam Kesejahteraan Sosial. Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI. Jakarta.
Prayitno, Ujianto Singgih. 2009. Tantangan Pembangunan Sosial di Indonesia. Pusat Pengkajian Data dan Informasi (P3DI). Sekretariat Jendral DPR RI. Jakarta
Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. PT. Refika Aditama. Bandung
Suharto, Edi. 2008. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Alfabeta. Bandung.
Suwarsono& SO, Alvin. 1999. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia. LP3ES. Jakarata
Spicker, Paul. 1995. Social Policy: Themes and Approaches, London: Prentice-Hall.
Todaro, MP. 1989. Economic Development in The Third World. Longman Group Limited.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2009, Tentang Kesejahteraan Sosial.
Pidato Kenegaraan Presiden RI, 16 Agustus 2009, dalam Sidang Paripurna DPR RI, Tentang Rencana Pembangunan 2009-2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar