Rabu, 06 Juni 2012

Jakarta di Memori Dream Theater


Untuk pertama kalinya Dream Theater berpentas di Indonesia. Dengan drumer baru, tak ada yang berkurang, justru seperti melepas beban.

.......
            “Dream Theater, the most awaited rock band....” Begitulah baliho berwarna latar merah menyala di beberapa sudut Jakarta mempromosikannya.
Iklan yang tak berlebihan. Ketika lampu panggung remang dan Dream Is Collapsing-lagu karya Hans Zimmer yang menjadi soundtrack film Inception—terdengar membahana, penonton yang hampir memenuhi gedung berkapasitas 10 ribu orang itu bagaikan mesin menganggur yang baru mendapatkan injeksi energi. Mereka seperti mengekspresikan keyakinan bahwa, pada akhirnya, band yang ditunggu-tunggu sudah di depan mata. Begitu suara mirip orang bersendawa di pembukaan Bridges in the Sky berkumandang dan disusul intro gitar bertempo cepat, hampir tak ada yang bisa menahan diri untuk menjerit, mengacungkan tangan, bahkan berjingkrak. Layar telepon seluler berpendaran di segala penjuru.
James LaBrie, sang vokalis, muncul menyusul John Petrucci (gitar), John Myung (bas), Jordan Rudess (keyboard), serta Mike Mangini (drum) dan langsung tarik suara. Di bawah siraman cahaya lampu warna-warni yang menawan, dia menyanyikan cerita tentang pengalaman seorang shaman melewati kegelapan jiwa menuju penyembuhan—semacam penemuan jati diri.
Blackness awakens/ Visions come alive
Seeing through darkness/ With borrowed eyes...
Selama lebih-kurang 10 menit, kuintet ini menyajikan paduan riff gitar yang kukuh, melodi yang megah, interlude menawan, juga perubahan tempo dan birama yang mendebarkan serta volume yang menggedor. Inilah sesungguhnya etalase dari repertoar yang dibawakan dua perempat jam malam itu.
Seluruhnya ada 15 lagu dalam paket setlist yang disajikan, masing-masing dengan energi dan kegairahan memainkannya seperti orang sedang bertemu dengan sahabat lama: 6:00, Build Me Up, Break Me Down, Surrounded, The Root of All Evil.... LaBrie, suaranya bertenaga dan tanpa cela, seperti berdansa di antara nada-nada meraung dan mendentam yang berasal dari kegesitan jemari Petrucci pada gitarnya, kukuhnya betotan bas Myung, dan luasnya eksplorasi bebunyian keyboard Rudess.
It’s Mike Mangini right there everyone!” LaBrie memperkenalkan sang penggebuk drum, wajah baru yang bergabung mulai April tahun lalu menggantikan Mike Portnoy.
Bukan semata aplaus, gemuruh sambutan penonton bisa dibaca sebagai persetujuan terhadap LaBrie, yang memang terdengar mirip seorang penggemar. “Dia (Mangini) tidak sekedar mengisi porsi Portnoy. Improvisasinya juga menawan,” kata Gatot, yang pernah menonton konser Dream Theater di Singapura pada 2006. “Kalau layar ditutup pun, orang tidak bisa tahu bahwa yang main bukan Portnoy.”
Mangini, bagaimanapun, memang salah satu pusat perhatian. Dalam 27 tahun riwayat Dream Theater, keberadaan drumer baru merupakan perubahan besar barangkali tak terbayangkan sebelumnya. Portnoy bukan saja anggota pendiri, tapi juga sudah seperti, katakanlah, sutradara satu film atau manajer suatu klub sepak bola: dia diganti, maka keberadaan band atau setidaknya arah musiknya bisa sangat bermasalah.

------

Perkenalan dua sekawan Petrucci dan Myung dengan Portnoy adalah momen yang menjadi titik awal Dream Theater. Ini berlangsung di Berklee College of Music, Boston, Massachusetts, pada 1980-an. Dengan minat musik yang beririsan, antara lain menyukai Rush, Yes, Pink Floyd, Iron Maiden, bahkan sejumlah band speed metal dan hair metal kala itu, mereka bersepakat membentuk Majesty pada 1985. Kevin Moore (keyboard) dan Chris Collins (vokal) melengkapi formasi.
Sempat merekam sejumlah demo, lalu mengganti Collins dengan Charli Dominici, dan menukar nama dengan Dream Theater, mereka mengeluarkan album debut pada 1989. Tapi, karena promosi minim, album berjudul When Dream and Day Unite ini kurang bergaung.
Baru pada 1992, melalui Images and Words, dengan LaBrie menggantikan Dominici, mereka mencapai sukses artistik dan komersial. Kritikus menahbiskan album ini sebagai tonggak penting persemaian aliran progressive metal. Dan berkat Pull Me Under, salah satu lagu di dalamnya, Dream Theater memperoleh ekspose tinggi di radio-radio dan kemudian juga MTV.
Jalan menjadi lapang. Pergantian personel berikutnya—Kevin Moore keluar dan posisinya diisi Derek Sherenian, lalu Jordan Rudess menggantikan Sherenian—sama sekali tak menghalangi laju kreativitas. Album-album selanjutnya, meski tak menyamai sukses komersial Images and Words, kian mengukuhkan formula musik dan pencapaian mereka. Penggemar baru bisa dijaring. Awake (1994), album sebelum Moore mengundurkan diri.....
Salah satu penggambaran gaya musik Dream Theater adalah ini: ada elemen progresif ala Rush, kegarangan khas speed metal, dan melodi megah yang bisa mengajak penonton sestadion ikut bernyanyi. Portnoy punya versi lebih ringkas: musik Dream Theater berfokus pada tiga elemen, yakni metal, melodi, dan progresif. Mau dipakai yang mana pun, tuntutannya adalah kemampuan bermain instrumen yang tak sembarangan.
Dengan itu, sampai saat merilis Black Clouds & Silver Linings (album kesepuluh, 2009), Dream Theater telah menjual sepuluh jutaan kopi album-albumnya di seluruh dunia. Mereka bisa dibilang sudah menjadi entitas bisnis dengan mesin uang yang terus berdering. Sukses di sisi lain: Petrucci, Portnoy, dan Myung juga mengoleksi aneka penghargaan, masing-masing dalam pencapaian sebagai gitaris, drumer, dan pemain bas.
Ketika, pada September 2010, Portnoy memilih keluar setelah usulannya agar mereka rehat dulu ditolak, Dream Theater, meminjam kata-kata Petrucci dalam satu wawancara, “berada dalam situasi yang asing”. Sesuatu yang tak terbayangkan terjadi juga. Tapi Petrucci dan rekan-rekan memilih jalan terus. Melalui audisi yang melibatkan tujuh drumer yang dianggap paling jago sejagad, masuklah Mike Mangini. Bersama profesor di Berklee College of Music ini, mereka merampungkan A Dramatic Turn of Events, yang dirilis pada September 2011.
Sebagian besar materi dari album kesebelas itulah yang menjadi tulang punggung repertoar tur dunia mereka kali ini. Termasuk pertunjukkan di Jakarta, yang ditopang peralatan seberat 8,4 ton.

 ------

Di panggung dengan backdrop tiga segi enam (atau kubus, dengan cara pandang lain) yang menjadi layar bagi tayangan beraneka klip dan animasi, malam itu Mangini terus menebar senyum di balik instalasi masif perangkat drumnya. Rambutnya tergerai, lebih panjang daripada saat mengikuti audisi tahun lalu, yang rekamannya disisipkan sebagai bonus di album terbaru. Dia melalui titian sempit antara kesempatan berimprovisasi dan keharusan memainkan begian yang sudah tersusun ketat seolah-olah tanpa bersusah payah.
Namun kesan rileks dan lepas tak hanya terlihat pada Mangini, tapi juga pada Petrucci, Rudess, dan Myung. Mereka terlihat seperti seharusnya satu tim....
Selepas Outcry yang penuh tikungan san duel unison, tempo diturunkan sejenak. “Ini sungguh menakjubkan,” kata LaBrie sebelum mengambil napas menyanyikan The Silent Man  dan Beneath the Surface diiringi gitar akustik Petrucci—momen kesekian yang mengundang penonton ikut bersenandung.
Dan momen kor datang lagi sebagai keniscayaan ketika Pull Me Under dibawakan di bagian encore untuk mengakhiri pertunjukkan. Penonton kembali histeris sejak Petrucci membunyikan not-not intro pada gitarnya.
Lost in the sky/ Clouds roll by and I roll with them
Arrows fly/ Seas increase and then fall again
This world is spinning around me/ This world is spinning without me....
Jakarta pun masuk ke memori Dream Theater. “Salah satu pengalaman konser DT terbaik,” Rudess ngetwit di akunnya tak lama setelah pertunjukkan berakhir....


Sumber: Majalah Tempo Edisi 30 April-6 Mei 2012 hal. 76. Ditulis oleh Purwanto Setiadi.
NB: Pada beberapa bagian dilakukan editing (menghapus bagian tertentu) untuk penyesuaian.

Elemen Kecil Tersembunyi (Dream Theater)


If I die tomorrow
I’d be alright
Because I believe
That after we’re gone
The spirit carries on....

Sekitar 8.000 penonton ikut menyanyikan The Spirit Carries On dalam konser Dream Theater di Mata Elang International Stadium, Ancol, Jakarta. Lagu “sejuta umat” bagi penggemar band beraliran progressive metal asal Amerika Serikat itu diambil dari album Metropolis Pt. 2: Scenes from a Memory, yang dirilis pada 1999.
Boleh dibilang album kelima sekaligus album monumental Dream Theater itu cukup unik. Album itu berkisah tentang Nicholas, seorang pria berkepribadian ganda yang hidup pada 2000-an, yang melakukan perjalanan waktu ke tahun 1928. Nicholas berjuang mengungkap kematian Victoria Page, gadis bermata indah, yang dibunuh secara misterius.
Kisah surealis ini dituturkan dari lagu pertama hingga terakhir. Dan The Spirit Carries On menjadi klimaks yang menggambarkan pencerahan batin Nicholas. Melalui syairnya, dituturkan bahwa kehidupan manusia tak hanya berakhir saat kematian tiba.
Selain membuat album konsep seperti Scene from a Memory, Dream Theater melakukan beberapa teknik unik dalam penulisan lagu. Mereka menyelipkan elemen-elemen kecil dan tersembunyi. Misalnya, bunyi dari phonograph pada akhir lagu Finally Free (album Scene from a Memory) merupakan suara yang sama pada awal lagu The Glass Prison di album berikutnya, Six Degrees of Inner Turbulance (2002). Lalu not piano yang dimainkan pada akhir lagu In the Name of God di album Train of Through (2003) adalah not yang sama dengan pembukaan The Root of All Evil di album selanjutnya, Octavarium (2005).
Dream Theater juga kadang menggunakan teknik penulisan yang mengembangkan bagian-bagian dari sebuah lagu tiap kali mereka memainkannya. Misalnya 6:00 dari album Awake (1994). Setelah awal lagu, mereka hampir memainkan chorus. Tapi mereka justru mengulang lagu itu dari awal lagi (di menit 1:33). Dan, ketika chorus sudah seharusnya dimainkan pada saat berikutnya, mereka kembali mengulang dari awal. Di menit 2:11.
Teknik yang sama bisa ditemukan di Peruvian Skies (album Falling Into Infinity, 1997) dan Blind Faith (album Six Degrees of Inner Turbulence). Lalu satu dari melodi-melodi di dalam Metropolis Pt. 1 (The Miracle and the Sleeper) diulang di chorus kedua pada Home dari Metropolis Pt. 2: Scene From a Memory dengan hanya mengubah satu kata.
Menurut Sigit Prabowo, teknik penulisan lagu Dream Theater itu sebetulnya berangkat dari model komposisi musik klasik. Dalam musik klasik ada bagian overture, yang merupakan pengantar untuk masuk ke komposisi musik berikutnya. Overture juga sebagai rangkuman dari komposisi musik dalam sebuah nomor lagu yang terdiri atas beberapa bagian. ”Elemen-elemen yang diselipkan dalam lagu Dream Theater merupakan pengembangan dari overture,” kata penggemar Dream Theater ini.
Beragam pola dalam lagu-lagu Dream Theater mengacu pada pola komposisi musik klasik. “Ini memang salah satu karakter dan ciri khas dari band beraliran progresif seperti Dream Theater,” Sigit menambahkan.
Hal lain yang menarik dari Dream Theater, tutur Sigit, bahasa dalam lirik-lirik lagu  mereka belakangan ini cenderung sederhana. Perubahan sudah dimulai sejak mereka merilis Scene from a Memory. “Sebelumnya lirik lagu-lagu mereka lebih banyak menggunakan bahasa sastra yang tinggi, sekarang mulai menggunakan bahasa sederhana sehingga mudah dipahami awam,” ujarnya.
Sigit mencontohkan lagu Pull Me Under dari album Images and Words (1992). Lirik lagu itu mengadopsi bahasa sastrawi yang digunakan dalam karya-karya penyair Inggris, Shakespeare. Karakter musik Dream Theater belakangan ini merupakan penyeimbang antara komposisi musik yang rumit dan melodi vokal dengan bahasa yang sederhana. “Barangkali perubahan konsep inilah yang membuat Dream Theater bisa bertahan,” katanya.


Sumber: Majalah Tempo Edisi 30 April-6 Mei 2012 hal. 78. Ditulis oleh Nurdin Kalim.
NB: Pada beberapa bagian dilakukan editing (menghapus bagian tertentu) untuk penyesuaian.

KARAKTERISTIK LAGU DT


Beberapa teknik penulisan lagu yang unik telah dilakukan oleh Dream Theater, yang kebanyakan terjadi di masa - masa sekarang, ketika mereka bisa bereksperimen dengan label rekaman mereka sendiri.

Dimulai dengan Train of Thought, Dream Theater sudah memulai memasukkan elemen - elemen kecil dan tersembunyi di musik mereka, dan memuat elemen tersebut kepada peminat yang lebih fanatik. Karakteristik yang paling terkenal (yang biasa disebut "nugget") tersembunyi di "In the Name of God", yang merupakan sandi morse dari "eat my ass and balls" (makan pantatku dan penisku), yang merupakan kata - kata terkenal dari Mike Portnoy. Sejak saat itu, banyak peminat - peminat Dream Theater mulai berusaha menemukan hal - hal kecil yang biasanya tidak menarik bagi peminat biasa.

Beberapa dari teknik mereka yang terkenal termasuk:
  • Suara dari fonograf di akhiran dari "Finally Free" di album Scenes from a Memory adalah suara yang sama di awalan "The Glass Prison" di album berikutnya, Six Degrees of Inner Turbulence. Dan akhiran kunci terakhir di "As I Am" sama dengan kunci yang digunakan di album selanjutnya, Train of Thought. Juga, not piano yang dimainkan di akhiran "In the Name of God" di 'Train of Thought adalah not yang sama dengan pembukaan "The Root of All Evil" di album berikutnya, Octavarium.
  • Tiga bagian dari "The Glass Prison" di Six Degrees of Inner Turbulence, dua bagian dari "This Dying Soul" di Train of Thought dan dua bagian dari "The Root of All Evil" di Octavarium menunjukkan tujuh poin pertama dari dua belas poin - poin di program Alcoholics Anonymous oleh Bill Wilson, yang mana program itu diikuti oleh Mike Portnoy. Ia juga berkata bahwa ia akan membuat lagu - lagu lain yang memuat lima program lainnya, yang akan ditujukan untuk Wilson
  • Dream Theater kadang menggunakan teknik penulisan lagu dimana bagian - bagian dari sebuah lagu dikembangkan tiap kali mereka dimainkan. Contohnya, lagu "6:00" dari Awake. Setelah awalan lagu, mereka hampir memainkan chorus, tapi mengulang lagu tersebut dari awalan lagi (di menit 1:33). Dan ketika chorus sudah seharusnya dimainkan pada saat berikutnya, mereka mengulang lagi dari awalan, di menit 2:11. Teknik ini bisa juga ditemukan di "Peruvian Skies", "Blind Faith" dan "Endless Sacrifice"
  • Penggunaan notasi yang berulang - ulang juga digunakan, yang sudah dikenal dari lagu - lagu Charles Ives, contohnya:
    • Tema lagu "Wait for Sleep" muncul di "Learning to Live" (menit 8:11) dan juga muncul dua kali di "Just Let Me Breath" (menit 3:39 dan 5:21)
    • Tema lagu "Learning to Live" muncul di "Another Day" (menit 2:53)
    • Tema lagu "Space-Dye Vest" digunakan beberapa kali di album Awake.
    • Tema pembukaan dari "Erotomania" digunakan di "Voices" di Awake (menit 4:51).
    • Satu dari melodi - melodi di "Metropolis Pt 1 (The Miracle and the Sleeper)" diulang di chorus kedua di "Home" dari Metropolis Pt 2 (Scenes From A Memory), dengan cuma pengubahan satu kata. Beberapa lirik dari "Metropolis Pt 1" just digunakan di "Home". Pada dasarnya, keseluruhan album "Scenes From A Memory" penuh dengan musikal/lirikal/konseptual variasi dari elemen - elemen musikal dari "Metropolis Pt 1" dan "The Dance of Eternity" sebenarnya dibangun dari variasi - variasi elemen musik di lagu - lagu dalam album tersebut.
    • Bagian - baguan dari tiap lagu di album "Octavarium" telah digunakan di bagian kelima dari lagu berjudul sama, "Octavarium".
  • Six Degrees of Inner Turbulence, studio album ke enam mereka, memuat enam lagu dan mempunyai karakter - karakter angka enam di judul - judul lagunya. Train of Thought, studio album ke tujuh mereka, memuat tujuh lagu. Octavarium, studio album ke delapan mereka memuat delapan lagu dan judul albumnya diambil dari kata octo, yang merupakan kata Latin yang berarti delapan, berarti satu oktaf dari istilah musik, yang mana merupakan jarak dari satu not ke not lain adalah delapan not di tangga nada diatonik. Judul lagi dari CD ini adalah 24 menit, kelipatan dari 8. Halaman depan albumnya juga memuat karakter - karakter yang berhubungan dengan 5 dan 8. Contohnya, satu set dari kotak - kotak putih dan kotak - kotak hitam, mempunyai arti satu oktaf dari piano.
  • Lagu "Octavarium" dulunya ingin diakhiri dengan seruling yang bergema serupa dengan awalan lagu tersebut. Namun diganti dengan not piano yang sama dari awalan album Octavarium. Mike Portnoy telah mengatakan bahwa seri awalan - akhiran album akan berhenti disini, karena album ke sembilan mendatang tidak akan diawali dengan akhiran "Octavarium"

http://dt.spatang.com/octavarium.php