Rabu, 06 Juni 2012

Elemen Kecil Tersembunyi (Dream Theater)


If I die tomorrow
I’d be alright
Because I believe
That after we’re gone
The spirit carries on....

Sekitar 8.000 penonton ikut menyanyikan The Spirit Carries On dalam konser Dream Theater di Mata Elang International Stadium, Ancol, Jakarta. Lagu “sejuta umat” bagi penggemar band beraliran progressive metal asal Amerika Serikat itu diambil dari album Metropolis Pt. 2: Scenes from a Memory, yang dirilis pada 1999.
Boleh dibilang album kelima sekaligus album monumental Dream Theater itu cukup unik. Album itu berkisah tentang Nicholas, seorang pria berkepribadian ganda yang hidup pada 2000-an, yang melakukan perjalanan waktu ke tahun 1928. Nicholas berjuang mengungkap kematian Victoria Page, gadis bermata indah, yang dibunuh secara misterius.
Kisah surealis ini dituturkan dari lagu pertama hingga terakhir. Dan The Spirit Carries On menjadi klimaks yang menggambarkan pencerahan batin Nicholas. Melalui syairnya, dituturkan bahwa kehidupan manusia tak hanya berakhir saat kematian tiba.
Selain membuat album konsep seperti Scene from a Memory, Dream Theater melakukan beberapa teknik unik dalam penulisan lagu. Mereka menyelipkan elemen-elemen kecil dan tersembunyi. Misalnya, bunyi dari phonograph pada akhir lagu Finally Free (album Scene from a Memory) merupakan suara yang sama pada awal lagu The Glass Prison di album berikutnya, Six Degrees of Inner Turbulance (2002). Lalu not piano yang dimainkan pada akhir lagu In the Name of God di album Train of Through (2003) adalah not yang sama dengan pembukaan The Root of All Evil di album selanjutnya, Octavarium (2005).
Dream Theater juga kadang menggunakan teknik penulisan yang mengembangkan bagian-bagian dari sebuah lagu tiap kali mereka memainkannya. Misalnya 6:00 dari album Awake (1994). Setelah awal lagu, mereka hampir memainkan chorus. Tapi mereka justru mengulang lagu itu dari awal lagi (di menit 1:33). Dan, ketika chorus sudah seharusnya dimainkan pada saat berikutnya, mereka kembali mengulang dari awal. Di menit 2:11.
Teknik yang sama bisa ditemukan di Peruvian Skies (album Falling Into Infinity, 1997) dan Blind Faith (album Six Degrees of Inner Turbulence). Lalu satu dari melodi-melodi di dalam Metropolis Pt. 1 (The Miracle and the Sleeper) diulang di chorus kedua pada Home dari Metropolis Pt. 2: Scene From a Memory dengan hanya mengubah satu kata.
Menurut Sigit Prabowo, teknik penulisan lagu Dream Theater itu sebetulnya berangkat dari model komposisi musik klasik. Dalam musik klasik ada bagian overture, yang merupakan pengantar untuk masuk ke komposisi musik berikutnya. Overture juga sebagai rangkuman dari komposisi musik dalam sebuah nomor lagu yang terdiri atas beberapa bagian. ”Elemen-elemen yang diselipkan dalam lagu Dream Theater merupakan pengembangan dari overture,” kata penggemar Dream Theater ini.
Beragam pola dalam lagu-lagu Dream Theater mengacu pada pola komposisi musik klasik. “Ini memang salah satu karakter dan ciri khas dari band beraliran progresif seperti Dream Theater,” Sigit menambahkan.
Hal lain yang menarik dari Dream Theater, tutur Sigit, bahasa dalam lirik-lirik lagu  mereka belakangan ini cenderung sederhana. Perubahan sudah dimulai sejak mereka merilis Scene from a Memory. “Sebelumnya lirik lagu-lagu mereka lebih banyak menggunakan bahasa sastra yang tinggi, sekarang mulai menggunakan bahasa sederhana sehingga mudah dipahami awam,” ujarnya.
Sigit mencontohkan lagu Pull Me Under dari album Images and Words (1992). Lirik lagu itu mengadopsi bahasa sastrawi yang digunakan dalam karya-karya penyair Inggris, Shakespeare. Karakter musik Dream Theater belakangan ini merupakan penyeimbang antara komposisi musik yang rumit dan melodi vokal dengan bahasa yang sederhana. “Barangkali perubahan konsep inilah yang membuat Dream Theater bisa bertahan,” katanya.


Sumber: Majalah Tempo Edisi 30 April-6 Mei 2012 hal. 78. Ditulis oleh Nurdin Kalim.
NB: Pada beberapa bagian dilakukan editing (menghapus bagian tertentu) untuk penyesuaian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar