If I die tomorrow
I’d be alright
Because I believe
That after we’re gone
The spirit carries on....
Sekitar
8.000 penonton ikut menyanyikan The
Spirit Carries On dalam konser Dream Theater di Mata Elang International
Stadium, Ancol, Jakarta. Lagu “sejuta umat” bagi penggemar band beraliran progressive
metal asal Amerika Serikat itu diambil dari album Metropolis Pt. 2: Scenes from a Memory, yang dirilis pada 1999.
Boleh
dibilang album kelima sekaligus album monumental Dream Theater itu cukup unik.
Album itu berkisah tentang Nicholas, seorang pria berkepribadian ganda yang
hidup pada 2000-an, yang melakukan perjalanan waktu ke tahun 1928. Nicholas
berjuang mengungkap kematian Victoria Page, gadis bermata indah, yang dibunuh
secara misterius.
Kisah
surealis ini dituturkan dari lagu pertama hingga terakhir. Dan The Spirit Carries On menjadi klimaks
yang menggambarkan pencerahan batin Nicholas. Melalui syairnya, dituturkan
bahwa kehidupan manusia tak hanya berakhir saat kematian tiba.
Selain
membuat album konsep seperti Scene from a
Memory, Dream Theater melakukan beberapa teknik unik dalam penulisan lagu.
Mereka menyelipkan elemen-elemen kecil dan tersembunyi. Misalnya, bunyi dari phonograph pada akhir lagu Finally Free (album Scene from a Memory) merupakan suara yang sama pada awal lagu The Glass Prison di album berikutnya, Six Degrees of Inner Turbulance (2002).
Lalu not piano yang dimainkan pada akhir lagu In the Name of God di album Train
of Through (2003) adalah not yang sama dengan pembukaan The Root of All Evil di album
selanjutnya, Octavarium (2005).
Dream
Theater juga kadang menggunakan teknik penulisan yang mengembangkan
bagian-bagian dari sebuah lagu tiap kali mereka memainkannya. Misalnya 6:00 dari album Awake (1994). Setelah awal lagu, mereka hampir memainkan chorus. Tapi mereka justru mengulang
lagu itu dari awal lagi (di menit 1:33). Dan, ketika chorus sudah seharusnya dimainkan pada saat berikutnya, mereka
kembali mengulang dari awal. Di menit 2:11.
Teknik
yang sama bisa ditemukan di Peruvian
Skies (album Falling Into Infinity,
1997) dan Blind Faith (album Six Degrees of Inner Turbulence). Lalu
satu dari melodi-melodi di dalam Metropolis
Pt. 1 (The Miracle and the Sleeper)
diulang di chorus kedua pada Home dari Metropolis Pt. 2: Scene From a Memory dengan hanya mengubah satu
kata.
Menurut
Sigit Prabowo, teknik penulisan lagu Dream Theater itu sebetulnya berangkat
dari model komposisi musik klasik. Dalam musik klasik ada bagian overture, yang merupakan pengantar untuk
masuk ke komposisi musik berikutnya. Overture
juga sebagai rangkuman dari komposisi musik dalam sebuah nomor lagu yang
terdiri atas beberapa bagian. ”Elemen-elemen yang diselipkan dalam lagu Dream
Theater merupakan pengembangan dari overture,”
kata penggemar Dream Theater ini.
Beragam
pola dalam lagu-lagu Dream Theater mengacu pada pola komposisi musik klasik.
“Ini memang salah satu karakter dan ciri khas dari band beraliran progresif seperti Dream Theater,” Sigit menambahkan.
Hal
lain yang menarik dari Dream Theater, tutur Sigit, bahasa dalam lirik-lirik
lagu mereka belakangan ini cenderung
sederhana. Perubahan sudah dimulai sejak mereka merilis Scene from a Memory. “Sebelumnya lirik lagu-lagu mereka lebih
banyak menggunakan bahasa sastra yang tinggi, sekarang mulai menggunakan bahasa
sederhana sehingga mudah dipahami awam,” ujarnya.
Sigit
mencontohkan lagu Pull Me Under dari
album Images and Words (1992). Lirik
lagu itu mengadopsi bahasa sastrawi yang digunakan dalam karya-karya penyair
Inggris, Shakespeare. Karakter musik Dream Theater belakangan ini merupakan
penyeimbang antara komposisi musik yang rumit dan melodi vokal dengan bahasa
yang sederhana. “Barangkali perubahan konsep inilah yang membuat Dream Theater
bisa bertahan,” katanya.
Sumber: Majalah Tempo
Edisi 30 April-6 Mei 2012 hal. 78. Ditulis oleh Nurdin Kalim.
NB: Pada beberapa
bagian dilakukan editing (menghapus
bagian tertentu) untuk penyesuaian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar