Untuk pertama kalinya Dream Theater berpentas di Indonesia.
Dengan drumer baru, tak ada yang berkurang, justru seperti melepas beban.
.......
“Dream Theater, the most awaited rock band....” Begitulah baliho berwarna latar
merah menyala di beberapa sudut Jakarta mempromosikannya.
Iklan
yang tak berlebihan. Ketika lampu panggung remang dan Dream Is Collapsing-lagu karya Hans Zimmer yang menjadi soundtrack film Inception—terdengar membahana, penonton yang hampir memenuhi gedung
berkapasitas 10 ribu orang itu bagaikan mesin menganggur yang baru mendapatkan
injeksi energi. Mereka seperti mengekspresikan keyakinan bahwa, pada akhirnya, band yang ditunggu-tunggu sudah di depan
mata. Begitu suara mirip orang bersendawa di pembukaan Bridges in the Sky berkumandang dan disusul intro gitar bertempo
cepat, hampir tak ada yang bisa menahan diri untuk menjerit, mengacungkan
tangan, bahkan berjingkrak. Layar telepon seluler berpendaran di segala
penjuru.
James
LaBrie, sang vokalis, muncul menyusul John Petrucci (gitar), John Myung (bas),
Jordan Rudess (keyboard), serta Mike
Mangini (drum) dan langsung tarik suara. Di bawah siraman cahaya lampu
warna-warni yang menawan, dia menyanyikan cerita tentang pengalaman seorang shaman melewati kegelapan jiwa menuju
penyembuhan—semacam penemuan jati diri.
Blackness awakens/ Visions come alive
Seeing through darkness/ With
borrowed eyes...
Selama
lebih-kurang 10 menit, kuintet ini menyajikan paduan riff gitar yang kukuh, melodi yang megah, interlude menawan, juga perubahan tempo dan birama yang mendebarkan
serta volume yang menggedor. Inilah sesungguhnya etalase dari repertoar yang
dibawakan dua perempat jam malam itu.
Seluruhnya
ada 15 lagu dalam paket setlist yang
disajikan, masing-masing dengan energi dan kegairahan memainkannya seperti
orang sedang bertemu dengan sahabat lama: 6:00, Build Me Up, Break Me Down, Surrounded,
The Root of All Evil.... LaBrie,
suaranya bertenaga dan tanpa cela, seperti berdansa di antara nada-nada meraung
dan mendentam yang berasal dari kegesitan jemari Petrucci pada gitarnya,
kukuhnya betotan bas Myung, dan luasnya eksplorasi bebunyian keyboard Rudess.
”It’s Mike Mangini right there everyone!”
LaBrie memperkenalkan sang penggebuk drum, wajah baru yang bergabung mulai
April tahun lalu menggantikan Mike Portnoy.
Bukan
semata aplaus, gemuruh sambutan penonton bisa dibaca sebagai persetujuan
terhadap LaBrie, yang memang terdengar mirip seorang penggemar. “Dia (Mangini)
tidak sekedar mengisi porsi Portnoy. Improvisasinya juga menawan,” kata Gatot,
yang pernah menonton konser Dream Theater di Singapura pada 2006. “Kalau layar
ditutup pun, orang tidak bisa tahu bahwa yang main bukan Portnoy.”
Mangini,
bagaimanapun, memang salah satu pusat perhatian. Dalam 27 tahun riwayat Dream
Theater, keberadaan drumer baru merupakan perubahan besar barangkali tak
terbayangkan sebelumnya. Portnoy bukan saja anggota pendiri, tapi juga sudah
seperti, katakanlah, sutradara satu film atau manajer suatu klub sepak bola:
dia diganti, maka keberadaan band
atau setidaknya arah musiknya bisa sangat bermasalah.
------
Perkenalan
dua sekawan Petrucci dan Myung dengan Portnoy adalah momen yang menjadi titik
awal Dream Theater. Ini berlangsung di Berklee College of Music, Boston,
Massachusetts, pada 1980-an. Dengan minat musik yang beririsan, antara lain
menyukai Rush, Yes, Pink Floyd, Iron Maiden, bahkan sejumlah band speed metal dan hair metal kala itu, mereka bersepakat
membentuk Majesty pada 1985. Kevin Moore (keyboard)
dan Chris Collins (vokal) melengkapi formasi.
Sempat
merekam sejumlah demo, lalu mengganti Collins dengan Charli Dominici, dan
menukar nama dengan Dream Theater, mereka mengeluarkan album debut pada 1989.
Tapi, karena promosi minim, album berjudul When
Dream and Day Unite ini kurang bergaung.
Baru
pada 1992, melalui Images and Words,
dengan LaBrie menggantikan Dominici, mereka mencapai sukses artistik dan
komersial. Kritikus menahbiskan album ini sebagai tonggak penting persemaian
aliran progressive metal. Dan berkat Pull Me Under, salah satu lagu di
dalamnya, Dream Theater memperoleh ekspose tinggi di radio-radio dan kemudian
juga MTV.
Jalan
menjadi lapang. Pergantian personel berikutnya—Kevin Moore keluar dan posisinya
diisi Derek Sherenian, lalu Jordan Rudess menggantikan Sherenian—sama sekali
tak menghalangi laju kreativitas. Album-album selanjutnya, meski tak menyamai
sukses komersial Images and Words,
kian mengukuhkan formula musik dan pencapaian mereka. Penggemar baru bisa
dijaring. Awake (1994), album sebelum
Moore mengundurkan diri.....
Salah
satu penggambaran gaya musik Dream Theater adalah ini: ada elemen progresif ala
Rush, kegarangan khas speed metal,
dan melodi megah yang bisa mengajak penonton sestadion ikut bernyanyi. Portnoy
punya versi lebih ringkas: musik Dream Theater berfokus pada tiga elemen, yakni
metal, melodi, dan progresif. Mau dipakai yang mana pun, tuntutannya adalah
kemampuan bermain instrumen yang tak sembarangan.
Dengan
itu, sampai saat merilis Black Clouds
& Silver Linings (album kesepuluh, 2009), Dream Theater telah menjual
sepuluh jutaan kopi album-albumnya di seluruh dunia. Mereka bisa dibilang sudah
menjadi entitas bisnis dengan mesin uang yang terus berdering. Sukses di sisi
lain: Petrucci, Portnoy, dan Myung juga mengoleksi aneka penghargaan,
masing-masing dalam pencapaian sebagai gitaris, drumer, dan pemain bas.
Ketika,
pada September 2010, Portnoy memilih keluar setelah usulannya agar mereka rehat
dulu ditolak, Dream Theater, meminjam kata-kata Petrucci dalam satu wawancara,
“berada dalam situasi yang asing”. Sesuatu yang tak terbayangkan terjadi juga.
Tapi Petrucci dan rekan-rekan memilih jalan terus. Melalui audisi yang
melibatkan tujuh drumer yang dianggap paling jago sejagad, masuklah Mike
Mangini. Bersama profesor di Berklee College of Music ini, mereka merampungkan A Dramatic Turn of Events, yang dirilis
pada September 2011.
Sebagian
besar materi dari album kesebelas itulah yang menjadi tulang punggung repertoar
tur dunia mereka kali ini. Termasuk pertunjukkan di Jakarta, yang ditopang
peralatan seberat 8,4 ton.
Di
panggung dengan backdrop tiga segi
enam (atau kubus, dengan cara pandang lain) yang menjadi layar bagi tayangan
beraneka klip dan animasi, malam itu Mangini terus menebar senyum di balik
instalasi masif perangkat drumnya. Rambutnya tergerai, lebih panjang daripada
saat mengikuti audisi tahun lalu, yang rekamannya disisipkan sebagai bonus di
album terbaru. Dia melalui titian sempit antara kesempatan berimprovisasi dan
keharusan memainkan begian yang sudah tersusun ketat seolah-olah tanpa bersusah
payah.
Namun
kesan rileks dan lepas tak hanya terlihat pada Mangini, tapi juga pada
Petrucci, Rudess, dan Myung. Mereka terlihat seperti seharusnya satu tim....
Selepas
Outcry yang penuh tikungan san duel unison, tempo diturunkan sejenak. “Ini
sungguh menakjubkan,” kata LaBrie sebelum mengambil napas menyanyikan The Silent Man dan Beneath
the Surface diiringi gitar akustik Petrucci—momen kesekian yang mengundang
penonton ikut bersenandung.
Dan
momen kor datang lagi sebagai keniscayaan ketika Pull Me Under dibawakan di bagian encore untuk mengakhiri pertunjukkan. Penonton kembali histeris
sejak Petrucci membunyikan not-not intro pada gitarnya.
Lost in the sky/ Clouds roll by and I
roll with them
Arrows fly/ Seas increase and then
fall again
This world is spinning around me/
This world is spinning without me....
Jakarta
pun masuk ke memori Dream Theater. “Salah satu pengalaman konser DT terbaik,”
Rudess ngetwit di akunnya tak lama
setelah pertunjukkan berakhir....
Sumber: Majalah Tempo
Edisi 30 April-6 Mei 2012 hal. 76. Ditulis oleh Purwanto Setiadi.
NB: Pada beberapa
bagian dilakukan editing (menghapus
bagian tertentu) untuk penyesuaian.